Jakarta, Aktual.com – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai, reformasi hukum pidana saat ini memasuki fase paling kritis. Pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) pada Selasa, 18 November 2025, dinilai dilakukan secara sangat cepat tanpa menyentuh rekomendasi fundamental.
Akibatnya, draf RUU KUHAP masih memuat banyak ketentuan yang bermasalah. atas dasar itu koalisi minta Presiden Prabowo tunda pemberlakuan KUHAP baru lewat Perppu
“Proses pembahasan dan substansi bermasalah ini sejak awal telah diperingatkan oleh akademisi, mahasiswa, masyarakat sipil, organisasi bantuan hukum, dan banyak pihak lainnya. Alih-alih memperbaiki kritik tersebut, pemerintah justru memaksa KUHAP baru diberlakukan serentak dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada 2 Januari 2026, meskipun proses sosialisasinya sangat sempit dan seluruh perangkat implementasinya belum disiapkan sama sekali,” kata Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, Sabtu (22/11/2025).
Koalisi mengingatkan bahwa KUHP dan KUHAP tanpa fondasi merupakan jalan menuju bencana hukum pidana. Kegentingan regulasi semakin terlihat ketika jarak antara pengesahan dan pemberlakuan kurang dari dua bulan dan dipotong libur akhir tahun. KUHAP yang baru disahkan mewajibkan hadirnya setidaknya 25 Peraturan Pemerintah (PP), 1 Peraturan Presiden, 1 Peraturan Mahkamah Agung, dan 1 Undang-Undang sebagai aturan pelaksana. Bahkan, UU yang dimaksud adalah regulasi mengenai upaya paksa penyadapan yang rentan disalahgunakan.
Aturan-aturan pelaksana tersebut berfungsi menjabarkan ketentuan umum dalam KUHAP agar dapat diterapkan secara teknis dan operasional. Tanpa PP, Perpres, Perma, dan UU sebagai pedoman pelaksana, norma-norma KUHAP akan menjadi kabur dan membuka ruang penyimpangan dalam setiap tahap proses peradilan.
“Dengan waktu sesingkat itu, apakah mungkin dilakukan sosialisasi terhadap seluruh aparat penegak hukum di Indonesia? Dalam hitungan minggu, aparat akan ‘dipaksa’ bekerja di tengah tumpang tindih aturan, kekosongan mekanisme, dan konflik interpretasi. Ketidakpastian hukum semacam ini bukan sekadar persoalan administratif dan tidak sederhana mitigasinya, melainkan secara langsung mengancam perlindungan hak-hak warga negara ketika berhadapan dengan hukum,” ujarnya.
Sebagai perbandingan, KUHP yang disahkan pada 2023 dan dijadwalkan berlaku pada 2026 diberi masa transisi tiga tahun penuh. Dalam periode tersebut, pemerintah memiliki mandat menyusun enam PP sebagai aturan pelaksana yang kemudian dikerucutkan menjadi tiga PP. Namun hingga hari ini, tidak satu pun rancangan PP tersebut berhasil disahkan. Bahkan pemerintah sendiri mengemukakan bahwa terdapat sedikitnya 52 poin revisi dan koreksi terhadap KUHP dalam RUU Penyesuaian Pidana yang sampai saat ini belum dibahas oleh pemerintah dan DPR.
“Temuan koreksi masyarakat sipil bahkan mencapai 70 poin. Proyek KUHP baru dengan persiapan implementasi tiga tahun saja masih menyisakan banyak hal yang perlu diperbaiki kurang dari dua bulan sebelum pemberlakuannya. Lantas bagaimana dengan KUHAP yang lebih teknis, prosedural, dan kompleks?” lanjut Isnur.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menegaskan bahwa situasi ini merupakan peringatan keras. Jika KUHP yang diberi waktu tiga tahun masih kacau dan belum memiliki aturan pelaksana, maka dapat dibayangkan kekacauan dan kesimpangsiuran yang akan terjadi apabila KUHP dan KUHAP dipaksakan berlaku bersamaan dalam kondisi tanpa kesiapan regulasi.
“Tanpa PP, tanpa aturan pelaksana lainnya (Perpres, Perma, dan UU), sosialisasi kurang dari empat minggu, tanpa kesiapan institusi, dan tanpa kepastian hukum. Memaksakan pemberlakuan KUHP dan KUHAP baru secara bersamaan tanpa memastikan kesiapan perangkat regulasi dan kapasitas pelaksana lapangan merupakan tindakan ekstrem yang destruktif bagi perkembangan hukum di Indonesia. Aparat di lapangan akan menghadapi kekosongan pedoman dan kesenjangan pemahaman,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka Permadhi






















