Maulana Syarif Sidi Syaikh Dr. Yusri Rusydi Sayid Jabr Al Hasani saat menggelar Ta’lim, Dzikir dan Ihya Nisfu Sya’ban (menghidupkan Nisfu Say’ban) di Ma’had ar Raudhatu Ihsan wa Zawiyah Qadiriyah Syadziliyah Zawiyah Arraudhah Ihsan Foundation Jl. Tebet Barat VIII No. 50 Jakarta Selatan, Jumat (19/4/2019). AKTUAL/Tino Oktaviano

Keadaan sempit atau ketika Allah memberikan cobaan kepada seorang hambaNya, maka justru menjadi hari raya bagi para wali Allah, karena dengan adanya cobaan inilah mereka benar-benar merasakan faqah (rasa butuh) kepada Sang Penciptanya. Mereka akan lebih menghayati makna dari firman Allah:

“يَأَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ”

yang artinya “ Wahai manusia, kalian adalah benar-benar orang yang membutuhkan kepada Allah, dan Allah adalah Dzat yang Maha Kaya dan Maha Terpuji”(QS. Fathir:15).

Karena itulah, sebagian ahli tashawwuf mengatakan, bahwa keadaan fakir adalah lebih utama dari pada keadaan berada, sebab orang yang tidak memiliki apa-apa, maka dirinya akan benar-benar dalam bersandar dan berpasrah diri kepada Tuhannya. Adapun orang yang memiliki, maka dirinya akan terlebih dahulu melirik kepada apa yang dia miliki sebagai sandarannya, dan barulah dia bersyukur atasnya.

Tentunya orang yang langsung menuju kepada Allah, akan lebih utama dari pada orang yang hatinya tertuju kepada dunia sebagai sandarannya. Imam Ibnu Athaillah As Sakandari RA berkata dalam kitab Hikamnya:

“ ورود الفاقات أعياد للمريدين”

yang artinya “ datangnya faqah (ujian yang menjadikan rasa butuh kepada Allah) adalah merupakan hari raya bagi para murid (orang yang sedang menuju jalan Allah).

Ketika seorang mukmin sudah benar-benar mampu menjadi hamba Allah dalam segala hal, maka ketika Allah memberikan ujian dan cobaan kepadanya, maka dia akan segera kembali kepadaNya dan menerimanya dengan penuh keridhaan, sebagaimana peribahasa Mesir mengatakan:

“ ضرب الحبيب زي أكل الزبيب”

yang artinya “ pukulan seorang kekasih, bagaikan memakan buah anggur”, tambah Syekh Yusri.

Imam Abu Jamrah mengomentari sabda baginda Nabi SAW :

“إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّى فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ لاَ يَدْرِى لَعَلَّهُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبَّ نَفْسَهُ ”

yang artinya “ Apabila kalian mengantuk ketika sedang shalat, maka tidurkan lah hingga rasa ingin tidur itu benar-benar telah pergi. Karena sesungguhnya ketika kalian shalat dalam keadaan ngantuk, maka dia tidak sadar, berharap untuk meminta ampunan, justru mencaci maki dirinya “HR. Bukhari), bahwa meninggalkan adab dalam sebuah ketaatan adalah merupakan jafa (keras hati dan tidak beradab).

Imam Abu Jamrah RA berkata :

“ أن ترك الأداب فى محل القرب من الجفاء”

yang artinya “ Sesungguhnya meninggalkan adab ketika dalam keadaan beribadah, adalah merupakan jafa (keras hati dan tidak beradab). Karena shalat adalah ibadah, dan mencaci maki ketika sedang beribadah adalah tidak beradab, padahal kita diperintahkan untuk selalu beradab kepada Allah Ta’ala dalam setiap keadaan. Maka dari itulah, baginda Nabi SAW memerintahkan untuk tidur sejenak apabila merasa ngantuk ketika sedang menjalankan shalat.

Wallahu A’lam

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
As'ad Syamsul Abidin