Ekonom senior Dr Rizal Ramli bersama Ketua Umum Konfederasi Sarikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal saat memberikan keterangan pers mengenai solusi terhadap salah urus tata kelola BPJS di Jalan Tebet Barat Dalam IV, Jakarta Selatan, Rabu (14/11/2018). Menanggapi masalah yang terjadi pada BPJS Ketenagakerjaan yang saat ini menjadi sorotan publik. Rizal menjelaskan, bahwa tak heran jika akhirnya Indonesia saat ini mengalami defisit. Menurutnya, jauh sebelumnya sejumlah negara eropa telah melakukan Social Security Sistem (Sistem Jaminan Sosial) terhadap warga negaranya. UU BPJS 2014 dimulai dengan pembiayaan yang tidak memadai (underfunded) dari pemerintah. Diketahui, BPJS Kesehatan disebut mengalami defisit. Masalah ini dipicu kecilnya iuran peserta yang diterima dibandingkan biaya layanan jaminan kesehatan yang dibayarkan. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid, Adhie M Massardi, menilai intelektualitas ekonom senior Rizal Ramli, seperti emas murni 24 karat.

“Kualitas kecendekiawanan dan keintelektualan Rizal Ramli itu 24 karat. Makanya dia menjadi menteri paling dipercaya Gus Dur saat beliau presiden dan mimpin kabinet,” katanya menanggapi Editorial Media Indonesia (MI) hari ini Rabu (30/1).

Adhie juga mengingatkan, sebagai cendekiawan, Rizal Ramli sudah memainkan perannya secara optimal, bahkan sangat bermurah hati, untuk memperbaiki sistem dan pola pemerintahan demi kemaslahatan rakyat banyak.

“Kalau dibukukan, niscaya sudah berjilid-jilid kritik yang disampaikan DR Rizal Ramli kepada pemerintah. Dan berbeda dengan kebanyakan pengeritik pemerintah, Rizal Ramli selalu melengkapi dengan suplemen solusinya,” kata Ketua Umum Perkumpulan Swing Voters (PSV) ini.

Mengenai ada kesalahan dalam mengutip data pinjaman pemerintah sejumlah 2 miliar dolar AS dengan imbal hasil sangat tinggi yakni sebesar 11,625 persen, menurut Adhie, itu kesalahan manusiawi dan terpenting sudah dikoreksi dalam kesempatan pertama.

“Tapi satu hal yang dilupakan teman-teman di grup MI milik Surya Paloh itu, ilmuwan bisa salah soal data, bahkan analisa, tapi yang dipantang oleh cendekiawan adalah berbohong. Faktanya, dari sisi substansi, Rizal Ramli bahkan sama sekali tidak salah,” ujar Adhie, menekankan.

Menko Perekonomian Darmin Nasution, kemarin (Selasa, 29/1) mengakui sendiri bunga unga obligasi (utang) Indonesia memang lebih tinggi dibanding negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand.

“Jadi insinuasi MI terhadap Rizal Ramli sebagai penyebar hoax telah terkooptasi oleh oportunisme, petualang politik, semangat keilmuannya direduksi dan dikerdilkan demi menyerang individu, kelompok, dan golongan tertentu, dalam kasus ini yang menjadi sasaran ialah pemerintah, merupakan opini yang menyesatkan dan sangat disesalkan,” tegas Adhie.

Soal integritas dan kredibilitas, menurut Adhie, rekam jejak Rizal Ramli mungkin yang terbaik dibandingkan dengan kebanyakan tokoh atau elite di negeri ini. Karena hal ini sudah diukir Rizal Ramli sejak mahasiswa, pertengahan 1970-an, melalui gerakan anti-kebodohan yang mendorong pemerintah waktu itu mengeluarkan kebijakan ‘wajib belajar 9 tahun’.

DR Rizal Ramli, masih kata Adhie, juga bukan tipikal intelektual yang bisa digoda kekuasaan.

Buktinya, ketika diminta Presiden Joko Widodo menjadi Menko Maritim tempo hari, karakter intelektual dan kecendekiawanannya tetap berfungsi sempurna. Dia tetap memberikan peringatan dini terhadap kebijakan yang akan diambil pemerintah, sehingga dalam beberapa hal, pemerintah terhindar dari potensi kerugian.

Misalnya, urung membeli armada pesawat besar untuk BUMN Garuda Indonesia.

“Tapi secara umum, kebanyakan orang di sekeliling Presiden alergi terhadap alarm atau sistem peringatan dini. Maka, pilihannya adalah ‘mematikan alarm’ lalu tidur lagi. Sehingga ketika bangun kesiangan, bingung melihat program 35 MW listrik mangkrak, biaya per/km jalan tol sangat mahal, dan seterusnya,” imbuhnya.

Tapi paling disesalkan Adhie Massardi dari tulisan editorial di MI itu adalah terkesan bahwa bangsa sebesar ini, peran intelektual dan kecendekiawannya hanya dibebankan kepada seorang Rizal Ramli.

“Padahal kalangan akademisi di kampus-kampus, bahkan jurnalis dan para pemilik media seperti Surya Paloh, seharusnya juga memainkan peran sebagai intelektual, sebagai cendekiawan, menjadi alat kontrol kekuasaan agar tidak terlalu jauh menyimpang seperti sekarang ini,” tegasnya.

“Apalagi media massa seperti televisi kan menggunakan ranah (frekuensi) milik publik dalam operasionalnya,” pungkas Adhie M Massardi.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Zaenal Arifin