Saling berbalas sindir yang tidak hanya dilakukan pasangan calon (Paslon) di Pilpres 2019 juga diikuti oleh para pendukungnya, terlebih ketika petahana masuk dalam pusaran tersebut.
Pengamat Politik Pangi Syarwi Chaniago (Ipang) menilai yang paling dikhawatirkan adalah posisi Jokowi sebagai petahana justru dapat dengan mudah ditumbangkan oleh lawan politiknya.
“Karena, semakin banyak ngomong, semakin banyak salah, blunder dan memantik polemik dan itu sama saja bunuh diri,” kata Ipang, di Jakarta, Jumat (16/11).
Mestinya, ia menyarankan, Jokowi harusnya fokus saja mem-promosikan kinerja dan prestasinya ke publik seperti infastruktur menjadi proyek andalannya. Sehingga masyarakat tahu apa yang sudah dilakukan oleh pemerintahannya.
“Kalau masyarakat tahu kerja nyata Jokowi, maka masyarakat puas (approval rating), kalau puas maka otomaticly memilih Jokowi dengan sendirinya,” terangnya.
“Tapi jangan coba-coba buka kotak pandora SARA, menyerang karakter pribadi atau fisik. Ingat, ketika masuk ke wilayah pusaran itu, tinggal menunggu waktu tenggelam dengan sendirinya. Baiknya Jokowi belajar kasus Ahok, dikalahkan oleh kata- kata dan dikalahkan oleh dirinya sendiri,” papar dia.
Karena itu, patut diduga, narasi kampanye yang dangkal dan dimainkan hari ini memang sengaja didesain untuk mengarahkan para kandidat terjebak dalam perang kata-kata, saling sindir sehingga terjauh dari substansi (konten) persoalan yang sedang dihadapi bangsa.
“Dengan kata lain, ini merupakan bagian dari strategi politik untuk mengalihkan perbincangan publik untuk tidak terlalu dalam masuk menyentuh persoalan yang lebih substantif karena ada pihak-pihak yang merasa khawatir bisa berpotensi merugikan kepentingan politiknya jika perdebatan politik mengarah pada hal-hal yang lebih substansi,” ucapnya.
Maka dalam kondisi strategi politik itulah, rakyat kemudian digiring dengan isu murahan dan persoalan remeh temeh, yanh konsekuensinya publik teralihkan perhatiannya dari persoalan nyata yang sedang dihadapi rakyat dalam kesehariannya.
“Strategi politik semacam ini membuat publik tidak akan mendapatkan informasi yang cukup tentang kandidat, sehingga pada akhirnya alasan mereka menentukan pilihan hanya berdasarkan sentimen berkaitan suka atau tidak suka, bukan pada basis visi dan gagasan yang jelas,” pungkasnya.
Sementara itu, Pakar Psikolog Politik Hamdi Muluk menilai, kampanye Pilpres 2019 masih sebatas “perang jargon” saja.
“Kampanye yang ditampilkan masing-masing pasangan Capres dan Cawapres tidak substantif, hanya jargon-jargon politik saja. Padahal seharusnya diisi dengan adu program dan gagasan berbasis data akurat,” kata Hamdi dalam diskusi di kantor Populi Center, Jakarta, Kamis (15/11).
Masih dikatakan akademisi asal Universitas Indonesia (UI) itu menilai tidak ada alternatif kebijakan yang ditawarkan masing-masing pasangan calon, misalnya, kubu petahana atau Jokowi-Ma’ruf, apa gagasan atau program alternatif yang akan dilakukan lima tahun kedepan.
Lalu di kubu Prabowo-Sandi, menurut dia, kritik yang dilakukannya harus berdasarkan data dan fakta sehingga kedua kubu seolah-olah tidak ada bedanya.
“Lalu pada akhirnya menyerang karakter calon yang sifatnya personal karena itu yang membedakan kedua kubu. Nyaris tidak ada beda antara kedua kubu dari sisi program,” sahutnya.
Menurut dia, dalam demokrasi mengharuskan seseorang atau kelompok berkompetisi karena jabatan terbatas maka terjadilah legitimasi diri sendiri dan deligitimasi lawan politiknya.
“Cara yang paling beradab untuk mendelegitimasi lawan adalah delegimasi kebijakannya, serang kebijakannya. Semua argumen dikeluarkan untuk mendelegitimasi, baik visi misi gagasan, itu yang paling bermartabat,” tandas dia.
Rakyat Apatis
Artikel ini ditulis oleh:
Novrizal Sikumbang