Melalui Konferensi Tingkat Tinggi One Belt One Road (OBOR) di Beijing minggu lalu, Cina nampaknya berhasil membujuk pemerintah Indonesia agar menyerahkan Bitung yang berlokasi di Sulawesi Utara, sebagai aset geopolitik Cina. Ironisnya, justru pemerintah Indonesia yang secara resmi menawarkan Bitung kepada Cina melalui skema investasi pengembangan pelabuhan.
Seperti penuturan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, terkesan alasannya memang cukup muluk dan menjanjikan. Yaitu pengembangan pelabuhan dengan mengintegrasikan kawasan industri dan fasilitas transportasi.
Yang krusial dari skema kerjasama RI-Cina yang ditawarkan, pemerintah nampaknya lebih mengutamakan pertimbangan keuntungan ekonomis dan berorientasi proyek, dengan mengabaikan nilai strategis Bitung secara geopolitik, hanya karena pemerintah Indonesia mengejar nilai investasi sebesar 25 miliar dolar AS.
Sebab dalam pertimvbangan geopolitik Cina yang sasaran strategisnya saat ini adalah untuk mengimbangi kehadiran militer AS di Darwin, Australia, maka Cina menyasar beberapa wilayah yang bisa dijadikan akses pelabuhan dan bandara. Bitung, Sulawesi Utara, dan Kuala Tanjung, Sumatera Utara, termasuk dalam kriteria para perancang strategis pertahanan nasional Cina.
Maka, investasi pengembangan infrastruktur transportasi sebagai bagian integral dari skema kerjasama ekonomi dijadikan pintu masuk Cina untuk menguasai geopolitik Bitung, Sulawesi Utara.
Pada masa menjelang berakhirnya masa pemerintahan Presiden SBY, Dubes Cina sempat menjanjikan untuk membanjiri investasi buat Indonesia asalkan diikutsertakan dalam program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Dan Cina secara terang-terangan minta diikutkan di Bitung. Hal ini mengundang tanya, mengapa justru minta KEK yang ada di Bitung?
Berarti, Bitung dalam sudut pandang pertimbangan geopolitik Cina, merupakan sebuah agenda strategis. Lantas apa skema di balik agenda itu? Melalui KEK, Cina membayangkan seakan-akan memiliki daerah jajahan (baru) di Indonesia. Ia tak sekedar membawa uang semata, namun juga menyertakan sumberdaya manusia (SDM)-nya, pabrik-pabrik, dan lain-lain secara serentak. Ini poin menariknya.
Selain itu pola kolonialisme ala Cina memang cenderung memakai Pendekatan Panda’ (simpati) melalui investasi,capacity building, hibah, dan sebagainya. Tentu berbeda sekali dengan pola ala Barat yang cenderung (usil) memainkan isue demokratisasi, lingkungan, HAM, dan lainnya guna memasuki kedaulatan negera lain, dimana ujungnya seringkali pendudukan militer dengan aneka dalih. Itu jamak dalam potret politik global.
Cina semenjak reformasi, kata Prof Wang Gung Wu ketika seminar di CSIS tanggal 16 November 1997, mengalami masa transformasi dan konvergensi ke arah kapitalisme yang melahirkan konsep ONE COUNTRY AND TWO SYSTEM, yaitu sistem negara dengan eloborasi ideologi sosialis dan kapitalis.
Jadi, titik berat ‘konsep baru’ Cina ini adalah swasta di satu sisi, sedang peran negara diperkecil pada sisi lain. Artinya, para pengusaha boleh berdiri pada garis depan membuka ladang-ladang usaha di luar negeri, tetapi ada dukungan militer (negara) di belakangnya. Itu titik poin atas konsepsi one country and two system di Cina.
Berarti, upaya Cina untuk diajak investasi di Bitung, Sulawesi Utara, bukan semata-mata bermotif ekonomi-bisnis belaka. Ada agenda tersembunyi terkait kepentingan strategis pertahanan dan militer Cina yang saat ini sedang berusaha semaksimal mungkin menguasa kawasan strategis di Asia Tenggara.
Adapun prakiraan bakal bercokolnya kepentingan strategis militer Cina dibalik skema KEK, terlihat dari beberapa indikasi. Antara lain adalah:
Pertama, ambisi Cina membangun sendiri infrastrukturnya terutama bandara udara dan pelabuhan laut. Pola ini hampir mirip saat Cina membangun pelabuhan-pelabuhan laut pada beberapa negara pesisir (tepian) di Kawasan Jalur Sutera (laut) sebagai implementasi string of pearl, strategi handalnya untuk mengamankan “energy security” (ketahanan energi)-nya;
Kedua, secara kultur, agama dan ras (maaf), langkah Cina membangun KEK di Bitung kemungkinan tidak bakal ada penolakan secara signifikan dari masyarakat sekitarnya, bahkan cenderung diterima dengan tangan terbuka karena dinilai justru bisa meningkatkan perekonomian wilayah timur;
Ketiga, letak Bitung di antara dua Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II dan ALKI III, dimana secara geoposisi cukup strategis, karena selain Sulawesi Utara dianggap pintu gerbang Indonesia (dari Timur) menuju Asia Pasifik, ia juga dapat mengendalikan dua ALKI sekaligus;
Keempat, pembangunan KEK di Bitung, kemungkinan selaras dengan “welcome”-nya Timor Leste terhadap militer Cina, sebagaiman dikatakan oleh Xanana Gusmao. Artinya kelak akan ada interaksi secara masif antara Bitung dan Timor Leste melalui ALKI III-A;
Kelima, inilah kontra-strategi Cina dalam rangka membendung gerak laju Amerika (AS) di Asia Pasifik, kendati “aura” Paman Sam sebenarnya lebih dulu menebar di Indonesia Timur baik via pangkalan militer di Philipina, dll maupun melalui World Ocean Conference (WOC) 2009 di Menado.
Agaknya, inilah sasaran strategis Cina yang sesungguhnya di balik skema kerjasama pengembangan infrastruktur transportasi di Bitung, Sulawesi Utara.
Hendrajit.