Seorang pegawai Komisi Pemilihan Umun (KPU) menunjukkan contoh surat suara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada uji publik desain surat suara Pemilu di gedung KPU, Jakarta, Jumat (14/9). KPU melakukan uji publik desain surat suara yang nantinya akan digunakan pada Pileg dan Pilpres 2019. AKTUAL/Tino Oktaviano

Semarang, Aktual.com – Dosen komunikasi politik Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang Suryanto, mengatakan pada masa kampanye Pemilihan Umum 2019, jangan sampai terjadi pembusukan demokrasi di Indonesia dengan membiarkan persaingan tidak sehat antarpeserta pemilu.

“Upaya menjatuhkan lawan politik melalui berbagai cara membuat Indonesia mengalami ketidaksehatan politik yang menyebabkan konflik, bahkan terjadi pertikaian antarpendukung,” kata Suryanto, di Semarang, Jateng, Senin (10/12) malam.

Pertarungan politik nasional beberapa tahun terakhir, misalnya, menunjukkan bahwa hoaks telah menjadi senjata efektif dalam mencapai kepentingan politik tertentu. Selain itu, sebagai alat untuk memengaruhi masyarakat yang tingkat literasinya rendah.

Tidak pelak lagi, kata Suryanto, masyarakat yang menerima kabar bohong setiap hari membuat sebagian di antara mereka menganggap benar. Apalagi, masyarakat yang belum memiliki pengetahuan dan sumber yang cukup untuk membedakan hoaks atau bukan.

“Masyarakat akan mengambil keputusan yang tidak tepat sebagai akibat dari beredarnya berita bohong, isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), fitnah, ujaran kebencian di wilayah politik seperti sekarang ini,” tuturnya.

Pada situasi tertentu, jika kondisi ini dibiarkan berlanjut, kata Suryanto, bakal terjadi pembusukan demokrasi di Indonesia yang pada akhirnya akan menghadirkan manusia yang dipilih menjadi tidak ideal dalam percaturan politik.

Menurut dia, idealnya persaingan dan pertarungan politik harus menggunakan cara-cara “fair play” dan membuka perilaku manusia dalam ruang sosial secara objetif serta kejujuran data dan fakta.

Jika pembusukan demokrasi di Tanah Air ini tidak dicegah, bakal terpilih para politikus yang buruk moralnya, perilaku korup masif di semua lini, baik di legislatif, eksukutif, maupun yudikatif (suprastruktur politik), bahkan juga di wilayah infrastruktur politik.

Tidak kalah fenomenal, katanya lagi, adanya peraturan/undang-undang yang dibuat berdasarkan transaksional, atau bukan berdasarkan pertimbangan kepentingan publik, melainkan kepentingan golongan/kelompok tertentu.

 

Ant.

Artikel ini ditulis oleh: