Indonesia Dipecundangi

Memang kedengarannya sangat membanggakan, sehingga tidak salah bagi orang yang memiliki jiwa nasionalis didalam dadanya, merasakan getaran melihat aksi heroik pemerintah yang seakan mampu membuat Freeport sedikit tunduk dan bersedia melepas sahamnya hingga 51%. Dipahami memang, telah bertahun-tahun Freeport tidak mau melepas sahamnya kendati Undang-Undang secara gamblang memerintahkan agar kepemilikan nasional mencapai 51%.

Namun sebelum terlalu jauh larut dalam dimensi kegembiraan, ada baiknya menelaah kembali dan melihat permasalahan Freeport secara konprehensif dari berbagai sisi. Sehingga nantinya bisa dipahami apakah akrobat yang dilakukan oleh pemerintah layak disebut kepahlawanan ataukah suatu wujud pecundang dan penghianatan.

Kelihatannya agak mengherankan sikap Indonesian Resources Studies (IRESS) secara gamblang menolak divestasi saham Freeport. Untuk itu Direktur IRESS, Marwan Batubara menjelaskan bahwa pembelian saham senilai USD 3,85 miliar oleh Inalum merupakan suatu yang tidak wajar. Nilai itu terlalu mahal, mengingat kotrak PTFI berakhir tahun 2021. Namun yang terjadi malah valuasi nilai aset mencapai tahun 2041. Artinya pemerintah Indonesia melalui BUMN holding industri pertambangan membeli sesuatu miliknya sendiri yang sepatutnya tidak mesti terjadi, jikapun kontrak tidak diperpanjang setelah 2021, seluruh aset tersebut menjadi milik Indonesia.

“Indonesia dibuat menjadi pecundang karena bersedia membayar sesuatu yang jauh di atas nilai wajar, sebab pada dasarnya sebagian besar aset yang dibayar tersebut adalah milik negara dan bangsa sendiri. Saham yang dibayar untuk kewajiban divestasi sangat mahal, karena mestinya yang dijadikan rujukan perhitungan harga saham adalah periode KK tambang Freeport yang berakhir tahun 2021. Bukan periode KK hingga 2041 seperti yang diinginkan Freeport. Dengan masa berlaku KK yang tersisa hanya tinggal 3-4 tahun, maka nilai aset dan bisnis Freeport mestinya jauh lebih rendah,” kata Marwan.

Marwan mempertanyakan sikap pemerintah yang seakan ketakutan dan buru-buru menjanjikan perpanjangan kontrak hingga 2×10 tahun. Padahal tegas Marwan, tidak ada ketentuan dalam KK PTFI yang mewajibkan Indonesia harus memperpanjang kontrak hingga 2041.