Mengabaikan Aspek Lingkungan

Melangkahnya proses negosiasi PTFI pada tahap kesepakatan nilai investasi, tidak ada artinya bagi Partai Rakyat Demokratik (PRD) jika mengabaikan aspek lingkungan. Wasekjend KPP PRD, Rudi Hartono mengatakan; harusnya proses negosiasi juga menyinggung nilai kerugian Indonesia akibat pengelolaan pertambangan yang buruk hingga merusak lingkungan yang ditaksir Rp 185 triliun.

“Potensi kerugian negara akibat pelanggaran lingkungan oleh PTFI mencapai Rp 185 triliuan. Ini bukan angka sedikit. Bandingkan dengan jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh PT Inalum untuk membeli participating interest Rio Tinto di PTFI dan 100% saham FCX (Freeport McMoran Incorporated) di PT Indocopper Investama sebesar USD 3,85 miliar atau sekitar Rp 55,44 triliun,” kata Rudi.

“Selain itu, soal kerusakan lingkungan ini juga penting bagi saudara-saudara kita di Papua. Tentu saja, saham 10% yang diterima oleh rakyat Papua tidak sebanding dengan kerusakan ruang hidup yang mereka alami. Belum lagi menghitung biaya sosial akibat konflik dan pelanggaran HAM akibat kehadiran Freeport di Papua,” pungkas dia.

Publish What You Pay (PWYP) Indonesia juga menyoroti mengenai kerusakan lingkungan yang diakibatkan aktifitas PTFI. Manajer Advokasi PWYP Indonesia, Aryanto Nugroho menyebut setidaknya ada enam pelanggaran PTFI dalam kurun waktu 2013-2015, yakni (1) Mengenai penggunaan kawasan hutan lindung, (2) Kelebihan pencairan jaminan reklamasi, (3) Penambangan bawah tanah tanpa izin lingkungan, (4) Kerusakan karena pembuangan limbah di sungai, muara dan laut, (5) hutang kewajiban dana pascatambang, dan (6) penurunan permukaan akibat tambang bawah tanah.

“Sejauh ini masalah-masalah tersebut belum menemui titik terang penyelesaian, padahal BPK telah menghitung potensi kerugian negara yang ditimbulkan oleh Freeport jumlahnya sangat fantastis, yakni sebesar Rp185,563 triliun. Serta PTFI tidak memantau dan mengendalikan beragam polusi di udara, laut, sungai, dan hutan; Termasuk di antara polusi itu adalah limbah berkategori bahan berbahaya dan beracun (B3),” ujar Ariyanto.