Jakarta, Aktual.com — Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyelenggarakan diskusi yang bertajuk ‘Deradikalisasi Berbasis Agama’ pada Rabu (23/3) di Gedung PBNU.

Helmy Faishal Zaini selaku Sekjen PBNU yang menjadi salah satu narasumber pada kesempatan itu mengatakan bahwa akar masalah radikalisme sebenarnya disebabkan oleh adanya ketidakadilan. Selain itu, juga dipengaruhi oleh rendahnya pemahaman ajaran agama Islam.

“Kaum beragama hari ini sangat kering pemahaman keagamaannya. Mereka mungkin sudah saleh ritual, tapi belum saleh sosial. Ini jelas disebabkan oleh kekeringan pemahaman dan kedangkalan wawasan mereka terhadap agama,” kata Helmy Faishal Zaini selaku Sekjen PBNU, di Gedung PBNU Jakarta, Rabu (23/03).

Adanya berbagai gerakan yang selalu ingin merongrong Pancasila seperti ISIS dengan ideologi khilafahnya merupakan bukti nyata bahwa radikalisme itu sudah sangat masif. Beberapa waktu lampau berdasarkan data yang masuk dan diterima oleh PBNU terdapat tidak kurang dari 400-an warga Indonesia bertolak ke Suriah. Hal ini, menurut Helmy, jika dibiarkan maka bukan tidak mungkin akan berujung terhadap hal-hal yang tidak diinginkan sama sekali.

“Mereka, para pemeluk agama itu harusnya memahami, terutama dalam konteks berbangsa dan bernegara, apa yang ditawarkan oleh Gus Dur kaitannya dengan paradigma bernegara. Ada tiga yakni, Integralistik seperti Saudi, sekularistik seperti Turki, atau simbiotik sepeerti kita ini di Indonesia,” jelas Helmy.

Paradigma Integralistik yaitu, paradigma yang menyatakan bahwa agama dan negara adalah sebuah entitas yang sama dan tidak bisa dipisahkan. Hukum agama adalah hukum negara itu sendiri.

Adapun paradigma sekularistik yakni paradigma yang secara tegas memisahkan hubungan agama dengan negara. Kedua-duanya adalah dua entitas yang berbeda sama sekali, oleh karena itu harus dipisah.

Sedangkan, yang dimaksud dengan paradigma simbiotik yaitu, meletakkan nilai-nilai agama sebagai ruh dan spirit dalam berbangsa dan bernegara. Indonesia, lanjut Helmy yang mengutip dari statmen Gus Dur, menjadi negara yang menjalankan paradigma ketiga ini.

Lebih jauh ketika menyinggung semakin luasnya persebaran gerakan radikalsime tersebut, Helmy mengatakan, bahwa diperlukan usaha intensif dan massif untuk selalau mengampanyekan ajaran agama yang isnklusif.

“Harusnya, Ulama-ulama dan Kiai-kiai Pesantren yang diberi kesempatan di televisi-televisi nasional. Mereka adalah oarang-orang yang selalu bersemangat menyebarkan ajaran agama yang santun dan toleran. Harusnya acara sepertai ‘Damai Indonesiaku’ itu diisi oleh mereka, Kiai-kiai dari Pesantren itu,” imbuhnya.

Sementara itu, Arif Poerboyo Roekiyat dari Deputi Kesatuan Bangsa Kemenko Polhukam dalam ketarangannya mengatakan, bahwa deradikalisasi selama ini yang diusahakan oleh Kemenko Polhukam ditempuh melalui tiga metode utama yakni pendidikan, keteladanan, dan juga sosialisasi. Ia juga menuturkan bahwa pihaknya juga mendorong dipercepatnya revisi UU Terorisme.

“Kami sangat mendukung usulan revisi UU No.15 tahun 2003 tentang Terorisme agar aparat lebih leluasa dan memiliki payung hukum yang jelas,” kata Arif.

Acara diskusi tersebut juga turut dihadiri oleh tokoh lintas agama yang berasal dari LPOI, PII, Persis, KWI, PGI, Walubi, Matakin dan lain sebagainya.

Acara diskusi ini juga dijadikan sebagai ajang pra-ekspedisi Islam Nusantara yang akan dilaksanakan oleh PBNU mulai tanggal 31 Maret hingga 9 Juni 2016. Yang mana Ekspedisi Islam Nusantara dimaksudkan untuk menggali artefak kebudayaan dan sejarah Islam Nusantara di 40 Kabupaten/kota seluruh Indonesia.

Artikel ini ditulis oleh: