Aksi Mayday, Jeritan buruh, dan Tuntunan Pencabutan Perpres 20/2018
Ketua Harian Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Muhammad Rusdi mengatakan bahwa pihaknya akan menurunkan sekitar 150.000 buruh pada aksi may day. Namun usaha untuk mendatangkan buruh ke Ibukota bukan tanpa hambatan.

“Ada banyak hambatan yang sengaja dimunculkan di daerah. Misalkan besok ada ganti oli gratis, bensin gratis. Sedangkan kalau buat acara di daerah biaya akan ditanggung, termasuk even sepakbola. mulai dari bogor, tangerang, bekasi. Apakah ini merupakan rencana untuk menggembosi aksi buruh,” tanyanya.

Di sisi lain, Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI) yang terdiri dari berbagai federasi serikat pekerja juga ikut meramaikan hari buruh internasional 1 Mei 2018 dan menyampaikan “Panca Maklumat” kepada Presiden Jokowi.

“Berdasarkan hasil diskusi selama 2,5 tahun. Kami bercita-cita Indonesia menjadi negara industri. Negara industri yang sepenuhnya digunakan untuk kepentingan rakyat Indonesia. Rakyat dan pekerja harus menjadi subyek. Tidak terbatas pada tenaga kerja asing, tetapi ke hulunya. Perlu ada roadmap menyeluruh terkait persoalan ketenagakerjaan,” ujar ketua umum KRPI, Rieke Diah Pitaloka.

Sejatinya Indonesia sebagai negara industri harus berbasis kepada kepentingan rakyat Indonesia. Maka diperlukan perencanaan yang baik dan butuh sebuah badan riset nasional untuk mengkonsolidasikan permasalahan hulu dan roadmap yang jelas.

“Hulu Tengah Hilir Indonesia harus diperhatikan dan rakyat Indonesia harus sebagai subjek agar terwujud negara industri yang lebih baik dan posisi pekerja kebih jelas. Tidak mungkin ada industri yang kuat tanpa pekerja yang kuat,” tegasnya.

Dalam aksi may day yang akan dilakukan pada 1 Mei 2018, KSPI akan membawa tiga isu penting yaitu menuntut penurunan tarif dasar listrik (TDL), BBM dan harga pangan. Kedua, Cabut Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang upah murah. Ketiga, Stop TKA dari china yang unskilled serta cabut Perpres 20/2018. Selain itu, pihaknya juga menuntut Jokowi untuk menghentikan perbudakan modern berkedok pemagangan.

“Selama pemerintahan Jokowi, kepastian kerja hancur, makin tidak jelas. Apalagi ditambah pemagangan. Anak-anak yang baru lulus dari SMA atau kuliah dimasukkan ke pemagangan hanya mendapat uang saku, tidak sesuai UMR tanpa jelas kepastian kerja,” jelasnya.

Selama empat tahun ini dirinya menjadi saksi pemerintah tak pro rakyat kecil, buruh selama empat tahun menderita, semakin tidak jelas kepastian kerja, PHK terjadi di segala sektor, mulai otomotif, elektronik hingga garmen

“Apa buktinya? silahkan siapa yang hadir disini motornya seri terbaru, kipas terbaru, kompor, setrika,” tanyanya.

Selain itu, selama pemerintahan Jokowi, tingkat kenaikan upah dibatasi. Padahal zaman SBY, upah murah sudah mulai ditinggalkan. Namun, Jokowi justru malah memperparah.

“Upah naik, namun tidak sepadan dengan kenaikan biaya hidup seperti pencabutan subsidi listrik yang mengakibatkan kenaikan biaya hidup hingga 300 persen. upah naik sedikit, namun biaya hidup naik. akhirnya malah jadi minus,” jelasnya.

Masalah buruh, lanjutnya, tidak hanya kepastian kerja yang berkurang, PHK pun sudah terjadi sejak beberapa tahun terakhir, ditambah PP TKA yang menambah berat beban buruh. Langkah pemerintah yang pro asing tersebut terlihat dari syarat yang dihilangkan seperti syarat mampu berbahasa Indonesia, menghilangkan rasio 1:10 dan menghilangkan kewajiban kompetensi buruh.

“Buruh marah karena cari pekerjaan semakin susah, namun pemerintah justru memberi kemudahan ruang bagi TKA, bukan masalah jumlah yang dibandingkan TKI di luar negeri. Mereka jadi TKI karena dibutuhkan, sedangkan TKA tidak kita butuhkan. Banyak banget pengangguran yang butuh pekerjaan di Indonesia,” tegasnya.

Menurutnya, TKA dari China ini berbeda dari TKA Jepang, dll. Mereka berpengalaman, sedangkan China, mereka mendatangkan buruh kasarnya juga. TKA Jepang, Inggris, AS mereka bisa belajar bahasa Indonesia, sedangkan China tidak demikian.

Itulah sebabnya mengapa Rasio tenaga kerja 1:10 dihapus agar seluruh pekerja China dapat bekerja dan saling berkomunikasi menggunakan bahasa China karena mereka tidak bisa berbahasa Indonesia.

“Bahkan kehadiran mereka tidak memberikan dampak positif bagi ekonomi setempat. Mereka mendapatkan mess, makanan, transport, dll. Padahal komponen pokok UMP itu ada unsur sewa rumah, makan, transport, artinya ekonomi masyarakat sekitar akan bertumbuh,” jelasnya.

Dari struktur UMP tersebut, lanjunya, sebanyak 80 persen pendapatan akan kembali ke masyarakat lagi. Sedangkan TKA China sama sekali tidak memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar.

“Upah yang diberikan kepada TKA China itu tidak ada yang kembali ke masyarakat sekitar, hampir tak ada dampak ekonomisnya. Hal ini tidak hanya menyakitkan, tapi sudah menjadi ancaman bagi negara Indonesia,” jelasnya.

Kebijakan China ke dalam antidemokrasi, keluar kapitalisme tanpa moralitas. Sedangkan Indonesia merupakan negara demokrasi yang dilindungi oleh undang-undang.

“Seluruh warga negara berhak mendapatkan pekerhaan yang layak. Jokowi gagal melindungi rakyat, melanggar bahkan berkhianat kepada amanah konstitusi. Bagi buruh, sangat tidak layak untuk dilanjutkan. Bagi buruh, sangat cocok hastag #2019gantipresiden,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka