Jakarta, Aktual.com – Sejumlah aktivis ’98, menolak reklamasi pesisir pantai di seluruh Indonesia.

Kata pendiri Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ), Dodi Ilham, sikap tersebut sesuai hasil pertemuan di Sekretariat Bersama (Sekber) Gerakan 98 Tolak Reklamasi, Tebet, Jakarta Selatan, Senin (29/1) malam.

Pada kesempatan itu, diikuti beberapa eksponen ’98, seperti aktivis Forkot Agung, aktivis Frontjak Eki, dan elemen lainnya. Yakni, Famred, Forbes, Kamtri, KB-UI, dan Frontkot.

“Kami menyepakati 10 alasan logis gerakan ’98 menolak reklamasi pantai di seluruh Indonesia,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Selasa (1/3).

Pertama, kata Dodi, hilangnya fungsi konservasi serta perairan, seperti tampungan banjir dari daerah aliran sungai (DAS), kawasan pembentuk kepulauan, kawasan ekosistem sempurna, dan penyangga kesehatan terumbu karang.

Kedua, menimbulkan banjir, lantaran Teluk tak lagi berfungsi sebagai kawasan tampungan banjir. Ketiga, rentan bencana tsunami maupun liquifaksi.

“Pulau baru akan lebih labil dan memperpadat lokasi. Ini bertentangan dengan prinsip adaptasi terhadap bencana,” beber inisiator pertemuan tersebut.

Keempat, merusak terumbu karang akibat peningkatan padatan tersuspensi serta sedimentasi. Kelima, mengancam ekosistem mangrove, lantaran mengubah kondisi perairan, baik salinitas, temperatur serta masukan nutrient yang terbatas dari luar teluk.

“Keenam, reklamasi mengancam dan memperparah abrasi pantai,” tegas kepala Pusdiklat Komunitas Usaha Pertanian Sentra Usaha Tani dan Agribisnis (KUP SUTA) Nusantara itu.

Ketujuh, bencana ekologis bakal meluas akibat reklamasi, mengingat pengambilan material menyebabkan merosotnya keanekaragaman hayati di lokasi sumber.

Kemudian, hanya menguntungkan investor, lantaran mendapatkan tanah dengan harga murah. Sementara, ketika dijual lagi kepada konsumen, keuntungan yang diperoleh cukup signifikan.

“Disisi lain, masyarakat akan menderita kerugian, seperti hilangnya perairan bebas milik publik, berkurangnya luas wilayah tangkapan ikan bagi nelayan tradisional, dan kehilangan kawasan konservasi bernilai tinggi,” tuturnya.

Sehingga, kesembilan, reklamasi merupakan kebijakan pro investor rakus.

“Terakhir, hilangnya pemukiman nelayan dan cagar budaya yang semestinya dilindungi dan dilestarikan,” tandasnya.

Artikel ini ditulis oleh: