Semarang, Aktual.co — Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang menyetujui wacana Mendagri Tjahjo Kumolo mengosongkan kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP). Menurutnya, identitas agama di KTP, dan hak-hak sebagai warga negara kerap terabaikan, seperti munculnya masalah keagamaan di lingkungan masyarakat.
Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, Dr Tedi Kholiludin, menemukan selama ini banyak terjadi masalah dalam kehidupan keagamaan di masyarakat yang ditimbulkan adanya identitas agama.
“Problem yang kerap muncul di masyarakat, diantaranya soal pendidikan, pencatatan perkawinan, pembuatan akta kelahiran, pembuatan tempat ibadah atau sanggar, dan pemakaman,” kata Tedy di Semarang, Minggu (9/11).
Pernyataan itu menanggapi wacana Mendagri. Bahwa warga negara yang tidak menganut enam agama resmi negara boleh mengosongkan identitas agama. Pernyataan ini kemudian memicu pro kontra karena Mendagri dianggap hendak mengahapus kolom agama di KTP.
Mengenai agama, menurut dia, negara hanya mempunyai tiga kewajiban. Negara hanya boleh menghormati (to respect), memenuhi/melayani (to ful fill), dan melindungi (protect).
Konsep dasar ini, jelas dia, sudah tertuang dalam Undang-undang nomor 12 tahun 2005 tentang hak-hak sipil dan politik.
“Jadi negara dalam perspektif hak asasi tidak ada hak untuk mengatur agama. Kalau mencantumkan identitas agama itu sudah mengatur artinya sudah melanggar hak asasi,” bebernya.
Kendati demikian, pernyataan Mendagri itu, lanjut dia, sebenarnya perdebatan lama. Karena untuk mengosongkan identitas agama bagi penghayat, itu sudah ada yang melakukannya.
“Sebelum Mendagri bilang KTP penghayat agama dikosongkan, di masyarakat sudah ada yang mengosongkan. Jadi itu bukan hal yang baru,” imbuh alumnus program doktoral Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga itu.
Namun demikian pernyataan Mendagri harus diapresiasi. Pasalnya, kata Tedi, pihak kecamatan yang bertugas membuatkan KTP kerap memaksa penganut penghayat kepercayaan supaya KTP-nya diisi identitas agama ‘resmi negara’.
“Maka adanya pernyataan resmi Mendagri, diharapkan tak ada lagi pejabat kecamatan yang memaksa penghayat untuk beridentitas agama, ” tandas dia.