PGN Saka Lanjutkan Eksplorasi dan Pengembangan Migas di Sidayu dan West Pangkah
PGN Saka Lanjutkan Eksplorasi dan Pengembangan Migas di Sidayu dan West Pangkah

Jakarta, Aktual.com – Keberuntungan bagi bangsa Indonesia memiliki Soekarno sebagai pendiri negara dengan konsep politik energi yang begitu jelas. Sikapnya anti imperialisme, sehinga ia sangat menjiwai pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang mana; ‘Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’.

Soekarno sangat menyadari bahwa energi merupakan tulang punggung pembangunan, dia berucap ‘Gerak adalah sumber kehidupan, dan gerak yang dibutuhkan di dunia ini bergantung pada energi, siapa yang menguasai energi dialah pemenang’. Faktanya memang, hingga saat ini tidak ada negara yang tidak memiliki ketergantungan pada energi. Bahkan keterbatasan persediaan energi menjadikannya objek rebutan hingga memicu peperangan di berbagai belahan bumi.

Indonesia memiliki sumber energi baik fosil maupun Energi Baru Terbarukan (EBT) yang begitu berlimpah. Selain itu, Indonesia juga merupakan negara dengan penduduk yang terbilang besar di dunia. Dengan jeli Soekarno melihat bahwa Indonesia memiliki sumber energi sebagai penggerak industri hilirisasi dan sekaligus memiliki jumlah penduduk yang besar sebagai pasar. Dengan begitu diyakini Indonesia akan mampu berdiri di atas kaki sendiri dan mencapai kemakmurannya.

Lau, apa pasal Indonesia malah mengalami ketergantungan energi dan terpaksa impor khususnya minyak dan gas? Benarkah cadangan Indonesia sudah terkuras hingga minimnya temuan baru? Ataukah Indonesia akan melakukan diversifikasi energi kepada EBT dengan waktu yang relatif singkat?

Ketergantungan Energi Nasional
Mengacu kepada hasil kajian Dewan Energi Nasional (DEN) yang dirumuskan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pada tahun 2025 Indonesia membutuhkan energi primer sebanyak 400.3 Million Tonnes of Oil Equivalent (MTOE) dengan persentase minyak bumi sebesar 24,7 persen, Gas Bumi 22 persen, Batubara 30,0 persen dan EBT 23.0 persen.

Diketahui dari 24,7 persen bauran energi minyak bumi yang ditetapkan, yakni kebutuhan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) berjumlah 1,7 juga Barel Oil Per Day (BOPD) pada tahun 2025, sedangkan konsumsi nasional saat ini di kisaran 1,6 juta BOPD dengan topangan impor sekitar 800 ribu BOPD. Artinya kedepan, Indonesia belum mampu beralih sepenuhnya kepada EBT dan masih begantung pada BBM.

Begitupun gas, kebijakan konversi dari minyak tanah (Kerosin) ke Liquefied Petrolium Gas (LPG) pada 2007, seperti ‘lari dari mulut buaya masuk mulut harimau’. Menghindari beban subsidi minyak yang besar, lalu mengambil kebijakan impor LPG yang saat ini harganya makin tinggi dan subsidi juga semakin tambah besar.

Sebagai catatan, sebenarnya Indonesia memiliki cadangan gas terbukti pada 2017 relatif besar yaitu 143 Trillion Cubic Feet (TCF). Persolannya cadangan gas Indonesia mayoritas memiliki kandungan Methana (C1H2) dan Ethana (C2H4), sedangkan untuk produk LPG mengandung unsur Propana C3H6) dan Butana (C4H8).

Sehingga gas Indonesia lebih banyak diproduksi dalam bentuk produk LNG dan gas Pipa ketimbang LPG. Disamping itu, masalahnya Indonesia juga memiliki keterbatasan infrastruktur Kilang LPG dan Jaringan Pipa distribusi. Karenanya produksi gas nasional tidak sepenuhnya terserap oleh rakyat Indonesia, melainkan diekspor ke luar negeri melalui produk LNG dan Pipa transmini ke negara tetangga. Pada tahun 2017 tercatat realisasi lifting gas bumi 1140 MBOEPD, sebanyak 39 persen dilakukan ekspor. Sedangkan kosumsi LPG nasional pada 2017 sebesar 7,1 juta ton dengan komposisi impor 5,3 juta ton.

Baca juga: http://www.aktual.com/gas-melon-terancam-menghilang-siapa-dalangnya/#

Singkat kata, dalam RUEN hingga tahun 2025 dan 2050 Indonesia belum terlepas dari minyak dan gas. Sedangkan kondisi saat ini Indonesia sangat memiliki ketergantungan terhadap impor.

Selanjutnya…
Minim Eksplorasi, Jokowi Kecewa

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta