Pertamina Tenggelam Dalam Kenikmatan Impor
Pengamat Ekonomi Energi UGM, Fahmy Radhi memaparkan pada 2017 total produksi minyak nasional sebesar 815 ribu BOPD. Dari jumlah itu, Pertamina hanya berkontribusi sebesar 14,22 persen atau sekitar 120,8 BPD. Artinya kendati di rumah sendiri, Pertamina dikalahkan oleh Chevron yang mencapai 40,2 persen atau sekitar 327,7 BOPD.
Fahmy mensinyalir, Pertamina dilengahkan oleh kenikmatan impor BBM, sehingga tidak serius melakukan eksplorasi dan menemukan banyak cadangan. Pertamina hanya memburu ‘janda’ blok migas atau blok terminasi.
“Datanya menunjukkan Pertamina tampaknya lebih menyukai berburu WK Blok terminasi ketimbang WK Blok yang baru. Contohnya Blok Mahakam diburu oleh Pertamina selama 10 tahun. Sekarang juga mendapat beberapa blok terminasi lainnya,” tutur Fahmy.
Pada aspek lain, minimnya peminat WK yang ditawarkan oleh pemerintah tidak terlepas dari lemahnya akurasi data survei seismik yang disajikan pemerintah, hal ini diakui oleh Sekretaris Jendral Kementerian ESDM, Ego Syahrial. Ego menuturkan, akurasi data sangat bergantung dengan kerapatan scan dan model dimensi yang digunakan.
Pada tahun 2017, anggaran survei seismik hanya sebesar Rp 75 miliar. Dengan anggaran terbatas, dilakukan survei 2 dimensi (2D) dengan masing masing lokasi sekitar Rp 25 Miliar. Untuk tahun 2018 dana survei seismik semakin menciut yakini Rp 58 Miliar dan dialokasikan pada 2 titik yakni di Selo Bangka Sulawesi Tenggara dan Singkawang Kalimatan barat, masing-masing Rp 29 Miliar.
“kalau kita jujur, WK Migas yang laku selama ini yang memang datanya disiapin badan usaha itu sendiri dengan survei 3D. Anggaran pemerintah terbatas. Pemerintah paling 1 tahun keluarin anggaran, Dipa untuk kegiatan pencarian seismik baru nggak nyampai Rp 90 Miliar. Dengan anggaran terbatas , maka dilakukan survei dengan 2D, jadi kerapatan scan-nya kurang,” kata Ego.
Ego menambahkan, 128 cekungan potensi migas, baru tereksplorasi sekitar 40 persen. Terlebih kebanyakan cekungan baru berada di Indonesia bagian timur yang diperkirakan untuk satu titik survei membutuhkan dana mencapai Rp 100 miliar. Dengan alokasi dana yang minim, dipastikan akan sulit mendapatkan data yang akurat mengenai potensi cadangan migas.
“Kalau datanya kurang valid, ini berpengaruh pada penawaran WK. Wilayah yang belum dilakukan apa-apa dan belum dilihat itu 40 persen. Nah itu terletak di indonesia bagian timur,” pungkas dia.
Selanjutnya…
Motif Permen ESDM Nomor 23
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta