Motif Permen ESDM Nomor 23
Oleh karena disebabkan minimnya aktivitas hulu migas terutama kegiatan eksplorasi, pemerintah mencoba meyakinkan investor agar berinvestasi di hulu migas Indonesia. Langkah yang diambil pemerintah tak lain memangkas sejumlah perizinan termasuk melakukan revisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 15 Tahun 2015 menjadi Permen ESDM Nomor 23 Tahun 2018.
Permen ini awalnya memberi prioritas kepada Pertamina untuk mengelola blok migas yang habis masa kontraknya. Berlaku kebalikannya, setelah dilakukan revisi, pemerintah memberi prioritas bagi kontraktor eksisting untuk memperpanjang masa kotrak. Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar menjelaskan latar belakang revisi Permen itu lantaran pada saat kunjungan kerjanya ke beberapa perusahaan luar negeri, dia mendapat keluhan mengenai kebijakan Indonesia melakukan nasionalisasi terhadap blok terminasi. Karenanya, untuk menarik minat investasi dan memberi kepastian usaha, pemerintah memprioritaskan kontraktor eksisting memperpanjang masa kontrak.
“Mereka katakan; kami sudah sekian tahun di sana (di Indonesia) tiba-tiba di nasionalisasi,” tutur Arcanra yang menceritakan keluhan kontraktor kepadanya.
Pemen ESDM Nomor 23 Terancam Digugat
Indonesian Resources Studies (IRESS) menuntut Presiden Jokowi untuk segera membatalkan Permen ESDM No.23 Tahun 2018 karena dinilai bertentangan dengan konstitusi Pasal 33 UUD 1945. Direktur IRESS, Marwan Batubara mengatakan, Permen 23 akan menghambat peningkatan ketahanan energi nasional dan melanggengkan penguasaan SDA migas oleh asing, serta mengurangi potensi penerimaan negara sektor migas.
“Pemberlakuan Permen ESDM No.23 Tahun 2018 menghambat dominasi BUMN untuk menjadi tuan di negeri sendiri dan menunjukkan sikap inferior bangsa Indonesia di hadapan bangsa-bangsa lain di dunia. Terlihat Permen 23 dengan sengaja ditujukan untuk memberi jalan mulus kepada kontraktor asing (existing) melanjutkan pengelolaan WK yang KKS-nya berakhir,” kata Marwan.
Marwan melanjutkan, jika merujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.36/PUU-X/2012 sebagai hasil judicial review atas UU Migas No.22/2001, maka pengelolaan WK migas hanya boleh dilakukan oleh BUMN. Hal ini merupakan perwujudan dari amanat Pasal 33 UDD 1945 tentang 5 aspek penguasaan negara yang harus berada di tangan pemerintah dan DPR, yakni pembuatan kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan. MK menegaskan, khusus untuk aspek pengelolaan, penguasaan negara tersebut dijalankan oleh pemerintah melalui BUMN.
“Oleh sebab itu, jika Pemerintahan Jokowi masih mengakui keberadaan dan berlakunya UUD 1945, maka tidak ada alternatif lain kecuali menyerahkan pengelolaan WK yang berakhir KKS-nya kepada Pertamina. Jangankan ketentuan dalam Peraturan Menteri ESDM, bahkan ketentuan dalam UU Migas pun harus tunduk kepada amanat konstitusi. Sehingga, tanpa mempertimbangkan argumentasi lain, secara otomatis Permen ESDM No.23 harus batal demi hukum,” pungkas Marwan.
Sementara Presiden Federasi Seikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) Ari Gumilar menolak keras Permen tersebut. Lebih jauh dia berencana melayangkan gugatan ke Mahkamah Agung. Menurut Ari, Permen 23 bentuk pengingkaran terhadap upaya mewujudkan kedaulatan energi nasional.
“Kita nilai tidak berpihak kepada kedaulatan energi nasional, karena lebih memihak kepada kontraktor asing. Kemungkinan kita akan menggugat ke MA,” tegasnya.
Dengan rapuhnya Indonesia dari ketahanan energi nasional dan bergantung pada impor, Kalahnya Pertamina dikandang sendiri pada aspek hulu migas, gagalnya pengembangan industri turunan berupa Pertrochimical, membuat rakyat Indoensia dieksploitasi sebagai pasar empuk produk impor dalam persaingan global. Tentu hal ini sama sekali tidak sesuai dengan yang diharapkan bung Karno tentang kemandirian dan kedaulatan yang membawahi kesejahteran umum.
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta