Jakarta, Aktual.com – Sungguh tiada sesuatu, kecuali Allah Ta’ala, sedang dirimu adalah tandanya. Nafsu manusia cenderung bertentangan dengan Allah. Segala sesuatu patuh kepada Allah dan milik Allah, demikian pula dengan nafsu manusia seharusnya patuh kepada-Nya. Maka nafsu harus ditaklukan dan dikendalikan agar tidak berbalik mengendalikan kita dan menyesatkan kita dari jalan-Nya. Karena nafsu manusia itu pongah, darinya tumbuh dambaan-dambaan palsu dan keinginan-kenginan rendah.

Dalam metode thariqah kita Al-Qadiriyah, cara menebus dan menundukkan nafsu itu salah satunya dengan memperbanyak dzikir kalimatut taqwa atau kalimatut tauhid “Laa ilaaha Illaa Allah” dengan bilangan tertentu pada setiap martabat nafsu.

Adapun martabat nafsu itu ada tujuh, sebagaimana yang telah masyhur dalam berbagai literatur tasawuf. Yaitu 1. nafsu ammarah, 2. nafsu lawwamah, 3. nafsu mulhimah, 4. nafsu muthmainnah, 5. nafsu radhiyah, 6. nafsu mardhiyyah dan 7. nafsu kamilah yang merupakan martabat tertinggi, inilah nafsunya para nabi dan rasul juga para wali qutb.

Tujuh martabat nafsu ini maksudnya dilihat dari sisi sifat dan karakteristiknya. Dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Namun dari sisi eksistensinya, nafsu seseorang itu pada hakikatnya tetap hanya satu saja. Perjalanan menundukkan hawa nafsu dimulai dari nafsu lawwamah yang berkecamuk dalam dada (shodr) manusia. Dengan cara sering menghujamnya dengan kalimatut taqwa, mujahadah dan berkholwat. Semua itu harus dibawah pengawasan dan irsyad bimbingan guru.

Kenapa dengan kalimatut taqwa? Karena kalimat ini jika sudah menghujam dalam sanubari seorang salik, ia akan mendominasi dan meliputi dirinya, dan berpengaruh terhadap perubahan karakter nafsunya. dimulai dari lisannya, pikirannya, hingga merasuk kedalam kalbunya dan akan menggerakkan seluruh anggota badannya untuk tunduk dan patuh kepada perintah Allah swt. Dan akhirnya kalimatut taqwa (ucapan Laa ilaaha Illaa Allah) akan menjelma menjadi libaasut taqwa (pakaian ketakwaan).

Segala pengabdian kepada Allah swt. terletak pada penentangan dan perlawanan terhadap nafsu kedirian. Namun ketahuilah bahwa nafsu itu cendrung menyukai sesuatu yang nikmat dan lezat. Apakah itu kenikmatan lahiriyah yang dapat melenakan tubuh ataupun kelezatan ruhaniyah yang dapat melenakan bathin, keduanya sama saja. Merupakan kenikmatan yang disenangi oleh hawa nafsu.

Ingat, menikmati segala sesuatu selain Allah, itulah hakikat nafsu. Meskipun kenikmatan itu berbentuk kelezatan dalam beribadah sekalipun, seperti kenikmatan ketika wirid atau bermunajat. Merasa nikmat ketika membaca Al-Qur’an, membaca shalawat, menuntut ilmu. Semua itu adalah sajian dari Allah untuk hamba-Nya dan tentunya bukan tujuan utama dalam pengabdian. Tujuan utama dalam ibadah hanyalah Allah swt. Sebagaimana firman-Nya kepada Nabi Dawud as. Yang dikutip oleh Maulana Shultanul Auliya’ Sidy Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani qs., Allah Ta’ala berfirman:

يا داود! أنا بدّك‌ اللازم فالزم بدّك، العبودية أن تكون خصماً على نفسك

“Wahai Daud, Akulah tujuan hidupmu, yang tak mungkin kau elakkan. Karenanya berpegangteguhlah kepada tujuan yang satu ini; beribadahlah sebenar-benarnya, sampai kau menjadi lawan keakuanmu, semata-mata karena Aku.”

 

Kenikmatan ruhani semacam itu telah banyak menggelincirkan para ahli ibadah sebagaimana kenikmatan jasmani telah banyak menggelincirkan kaum awam sehingga mereka melupakan tujuan. Namun keterlenaan terhadap kenikmatan ruhani lebih berbahaya karena dapat membawa seseorang kepada syirik khofi, kepada ujub. Merasa bangga diri dengan ibadah dan amalnya lagi lupa akan pertolongan Allah. Merasa bangga sudah bisa menikmati ibadah, merasa sudah bisa dzikir, sudah bisa sholat dan lain sebagainya. Na’udzubillah

Jangan sibuk dengan sajian dan malah melalaikan Sang Raja, Sang Pemilik semua hidangan kenikmatan itu. Jangan sampai tujuan ibadahmu hanya untuk mencicipi kenikmatan ibadah saja. Karena itu merupakan bentuk keinginan nafsu dan syirik yang samar. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَتَّبِعِ ٱلْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ

“Dan janganlah engkau turuti hawa nafsumu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS Shad 38:26).

Allah juga berfirman kepada Nabi Dawud as.:

اهجر هواك فإنه منازع

“Hindarilah hawa nafsumu, karena sesungguhnya tak ada sesuatu pun yang menentang-Ku di seluruh kerajaan-Ku, kecuali nafsu.”

Maka cara untuk memutus keterlenaan terhadap setiap kenikmatan dan kelezatan yang kita rasakan ketika beribadah adalah dengan segera bersyukur kepada Pemilik segala kenikmatan itu. Susul setiap nikmat itu dengan syukur kepada Allah swt. Agar tidak terlena dan tergelincir dengan kelezatannya. Syukuri ketika kita digerakkan untuk beribadah dan berbuat baik, digerakkan untuk hadir ke majelis, untuk bersuhbah dengan guru. agar nikmat Allah tidak terputus oleh keinginan nafsu yang samar dan lembut, dan malah menghijab dirimu dan melalaikan dirimu dari tujuan utama. Yakni untuk sampai kepada Allah Ta’ala.

لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim : 7)

 

Suatu ketika Abu Yazid Bustami bermimpi bertemu Allah, dan bertanya kepada-Nya: “Yaa Rabb, bagaimana jalan menuju-Mu ?” Jawab-Nya: “Buanglah keakuanmu dan berpalinglah kepadaKu”. Syeikh Abu Yazid melanjutkan kisahnya: “Lalu, aku keluar dari nafsu kedirianku bagaikan seekor ular keluar dari selongsong kulit tubuhnya.”

Semoga Allah memberikan kita pertolongan dalam menundukkan hawa nafsu untuk menuju kepada-Nya. Aamiin yaa rabbal ‘aalamiin.

Wallahu ‘alam bis shawwab

 

Dikutip dari Kajian Tasawuf Kitab Anwarul Hadi karya Shultanul Auliya’ Sidy Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani qs. cet. Markaz Al-Jilani, Istanbul – Turki. Bersama KH. Muhammad Danial Nafis di Zawiyah Ar-raudhah Tebet, Jakarta, Selasa 17 Dzulqa’dah 1441 H. (7/7/2020)