Masalah LC (Letter of Credit), dalam upaya peningkatan ekspor Indonesia ke negara berkembang seperti Irak, adalah hal klise. Di negara mana pun, jika ia sudah punya sebentuk kerjasama antara bank sentralnya, dengan kondisi itu pun juga masih bisa terjadi masalah LC.

Demikian diungkapkan Koordinator Fungsi Politik dan Ekonomi, merangkap Kepala Kanselerai KBRI Baghdad, S. Ari Wardhana, kepada wartawan Aktual.com, Satrio Arismunandar, dari Baghdad, Rabu (4/10). Ari bertugas memimpin pelaksanaan kehadiran perwakilan pengusaha Indonesia di pameran perdagangan Baghdad International Fair ke-42 di Irak. Pameran itu akan berlangsung sampai 10 November.

Menanggapi keluhan sebagian pelaku usaha Indonesia bahwa LC dari Irak tidak diterima sebagai jaminan oleh perbankan di Indonesia, Ari menganggap, hal itu bukanlah masalah yang tak bisa diatasi. Ari, yang pernah menjadi Koordinator Fungsi Ekonomi di KBRI Aljazair, memaparkan, ada mekanisme lain yang bisa difasilitasi.

“Misalnya, kita waktu itu bilang pada perusahaan Aljazair untuk buka account di bank, katakanlah Bank Pariba di Paris. Bank Pariba di Paris kan berkorespondensi dengan Bank Pariba yang ada di Indonesia. Maka itu bisa dilakukan transfer untuk melakukan pembayaran,” ucapnya. “Bisa diakali begitu. Jadi tidak sampai menghambat bisnis antara kedua negara. Banyak cara yang bisa kita gunakan.”

“Jadi masalah mekanisme pembayaran seperti itu saya anggap klise dan bukan sesuatu yang tidak bisa kita selesaikan. Dan kita wajib memberi dukungan pada pengusaha Indonesia agar hal itu bisa terealisasi,” tegas Ari.

Ari mengambil contoh, perusahaan konstruksi Wijaya Karya (Wika) sudah membangun jalan raya di Aljazair, dan sekarang sedang membangun apartemen di sana. Nilai revenue-nya itu sekitar Rp 1 triliun setiap tahun. “Padahal, tidak ada kerjasama antara bank sentral Indonesia dan Aljazair,” ujar Ari.

“Tetapi apakah hal itu menjadi hambatan? Wika tetap hadir, dari 2006 sampai sekarang, dengan omzet antara Rp 600 miliar sampai Rp 1 triliun per tahun. Saya yakin ada masalah, tetapi apakah itu menghambat kerjasama antara mereka di Indonesia dan Aljazair? Justru saling melengkapi ‘kan?” tukasnya.

LC seharusnya adakah ukuran kapabilitas. Ari menjelaskan, misalnya, ada bank di Inggris yang kelasnya seperti BPR (bank perkreditan rakyat) di Indonesia. Bank itu jelas tak mampu menerbitkan LC. Kalau satu bank swasta sudah bisa menerbitkan LC, artinya ia sudah memiliki legitimasi secara finansial dan sistem perbankan di negara bersangkutan, bahwa ia prudent (hati-hati) dan capable (memiliki kemampuan) untuk menerbitkan LC. “Terlepas apakah kita punya hubungan antara kedua bank sentral, itu tidak jadi masalah,” tambah Ari.

Ditambahkan oleh Ari, umumnya kalau antara dua negara berkembang –seperti Indonesia dan Irak ini– memiliki kerjasama perdagangan, apalagi kerjasama antara sesama bank sentral, itu suatu hal yang menarik untuk dikaji. Juga, perlu difasilitasi bagaimana skema pembayarannya hingga seperti ini. ***

Artikel ini ditulis oleh: