Washington, Aktual.com – Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson akan menjadi tuan rumah pertemuan multinasional mengenai perang melawan kelompok fanatik ISIS.

“Menteri Luar Negeri Tillerson pada 22 Maret akan menjadi tuan rumah dari 68 negara serta organisasi internasional yang telah bergabung dalam koalisi pimpinan AS melawan IS,” kata satu pernyataan Departemen Luar Negeri AS seperti yang dilansir Xinhua, Sabtu (11/3).

Pertemuan tersebut akan mencakup pembahasan terperinci mengenai prioritas jalur upaya koalisi, termasuk militer, petempur teror asing, pendanaan kontra teror, kontra penyiaran pesan dan kestabilan daerah yang dibebaskan, guna meningkatkan momentum bagi aksi itu.

“Selain itu, para menteri juga akan membahas krisis kemanusiaan yang berkecamuk di Irak dan Suriah, yang mempengaruhi seluruh wilayah tersebut.”

M Arief Pranoto, pengkaji geopolitik dari Global Future Institute, memandang Islamic State in Irak and Syam (ISIS) memang telah banyak dikaji berbagai pengamat dan para pakar.

Menurut analisis pria kelahiran Malang, Jawa Timur itu, tak ada yang salah dalam kajian mereka, hampir semua analisis mendekati ‘kebenaran’ sebab berbasis data-data. Ada yang menyimpulkan sebagai lanjutan isu al Qaeda karena ‘lakon teroris’-nya (Osama bin Laden) telah tamat; atau ia merupakan upaya lain pihak Barat dalam menghancurkan Islam, dan banyak lagi lainnya.

Namun Pranoto yang saat ini menjabat Direktur Program Studi Kewilayahan Global Future Institute itu menilai sepertinya di balik pembentukan ISIS  ada skema dan modus operandi yang  terlihat nyata dalam kiprah ISIS, yakni selain memicu adu domba sesama umat Islam, juga menampilkan perilaku yang tidak Islami.

Menurut penelisikan tim riset Aktual, Deklarasi ISIS diumumkan juru bicaranya yakni Syaikh Abu Muhammad Al Adnani Asy Syami pada 29 Juni 2014, dimana ISIS mengklaim memiliki wilayah meliputi Irak dan wilayah Syam dengan mengangkat Syaikh Ibrahim bin Awad al-Husaini al-Baghdadi (lebih dikenal Abubakar al-Baghdadi) sebagai Khalifah.

Namun belakangan terungkap fakta bahwa Simon Illiot —merupakan nama asli Abubakar al Baghdadi—  sebagai agen Mossard (badan intelijen Israel). Kalau melihat citra diri yang dibangun terhadap Baghdadi sebagai sosok Islam radikal, besar kemungkinan memang Baghdadi diplot oleh persekutuan MOSSAD-CIA-MI6 sebagai Osama bin Laden gaya baru.

Yang tak kalah menarik adalah kesaksian Edward Snowdeen, mantan karyawan US National Security Agency (NSA), yang mengungkapkan, intelijen Inggris, Amerika Serikat dan Israel (Mossad) bekerja sama membentuk gerilyawan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Dilansir dari situs globalresearch.ca, Snowdeen mengatakan badan intelijen tiga negara tersebut menciptakan sebuah organisasi teroris yang mampu menarik semua ekstrimis dunia ke satu tempat. Mereka menggunakan strategi yang disebut “sarang lebah”.

Dokumen NSA menunjukan implementasi strategi sarang lebah untuk melindungi entitas Zionis dengan menciptakan slogan-slogan agama dan Islam.

Menurut dokumen yang dirilis oleh Snowden, “Satu-satunya solusi untuk melindungi negara Yahudi adalah untuk menciptakan musuh dekat perbatasannya”.

Data tersebut juga mengungkapkan bahwa pemimpin ISIS Abu Bakar Al Baghdadi mengambil pelatihan militer intensif selama satu tahun di tangan Mossad, selain program dalam teologi dan seni berbicara.

Kalau membaca konstruksi cerita tesebut, maka ISIS sejatinya merupakan reinkarnasi dari keberadaan kelompok teroris jadi-jadian kreasi CIA macam Al Qaeda seperti di era kepresidenan Bush 2000-2008.

Terlepas kesaksian Snowdeen masih harus didalami dan diverfikasi lebih lanjut, setidaknya hal itu mengingatkan kita betapa para pemangku kepentingan di bidang politik dan keamanan nasional kita agar jangan sampai masuk dalam ritme dan irama yang dimainkan oleh AS-Inggris-Israel melalui penerapan strategi Sarang Lebah.

Sebab Strategi Sarang Lebah ISIS itu ditujukan untuk menjaring kelompok-kelompok Islam radikal agar berkumpul di satu tempat yang sama. Sehingga mudah dikendalikan dan dijinakkan melalui kerangka operasi intelijen yang dilancarkan ketiga negara tersebut yang kerap dikenal dengan sebutan FALSE FLAG OPERATION (OPERASI BENDERA PALSU).

Wisnu dan Hendrajit

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu