Jiwa terancam

Penelitian dengan pendekatan baru dilakukan bersama sejumlah peneliti dan instansi yang tertuang dalam publikasi di GeoHealth berjudul “Fires, Smoke Exposure, and Public Health: An Integrative Freamwork to Maximise Health Benefits From Peatland Restoration”, yang mengintegrasikan informasi penyebab emisi, berpindahnya asap karhutla karena arah angin, serta jumlah populasi yang terekspose polusi udara untuk mengukur dampak kesehatan dari berbagai skenaria pengelolaan lahan.

Kerangka kerja tersebut dibuat dengan memprioritaskan lokasi restorasi gambut guna mengurangi ekspose polusi dari emisi dampak kebakaran untuk wilayah di negara yakni Indonesia, Malaysia dan Singapura, dan untuk membangun perangkat yang membantu pengambilan keputusan pemangku kepentingan dalam menetapkan potensi skenario kebijakan lainnya terkait pemecahan persoalan kebakaran hutan dan lahan di masa depan.

Kerangka kerja terintegrasi ini dapat pula diterapkan di kawasan yang rawan terjadi kebakaran hutan dan lahan di belahan Bumi manapun, untuk membangun strategi yang mampu mengurangi jumlah masyarakat yang kesehatannya dapat memburuk berkaitan dengan biomassa yang terbakar. Hal ini disampaikan oleh salah satu penelitinya dari Department of Earth and Planetary Sciences, Harvard University, Tianjia Liu.

Skenario bisnis seperti biasa layaknya yang berjalan saat ini (business as usual/BAU) pada perubahan penggunaan lahan periode 2010-2030 memproyeksikan akan adanya penurunan luasan hutan alam, hutan sekunder, bersamaan juga dengan nonhutan, perluasan perkebunan atau hutan tanaman.

Di Sumatera, total tutupan hutan menurun dari 31 persen ke 24 persen dari 2010 ke 2030, dan tutupan hutan di lahan gambut akan berkurang dari 33 persen menjadi delapan persen.

Tren BAU di Kalimantan memprediksi berkurangnya tutupan hutan dari 54 persen ke 49 persen dan 45 persen ke 28 persen di hutan dan lahan gambut. Kebanyakan perubahan dan pembukaan di hutan dan lahan gambut terjadi karena ekspansi area nonhutan (13 persen ke 29 persen), perkebunan atau hutan tanaman dan hutan sekunder (54 persen hingga 62 persen) akan terjadi di Sumatera dan wilayah nonhutan di Kalimantan (11 persen hingga 27 persen).

Artikel ini ditulis oleh: