Banda Aceh, Aktual.com – Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, Iskandar Usman Al-Farlaky menyatakan qanun/peraturan daerah tentang hukum jinayat tidak bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

“Salah besar jika ada yang menyatakan bahwa qanun hukum Jinayat bertentangan dengan KUHAP. Semua sudah dibahas dan didiskusikan dan tidak ada kontradiksi apa pun sehingga qanun ini dinyatakan sah dan dapat diberlakukan,” kata Iskandar di Banda Aceh, Jumat (2/10).

Pernyataan itu disampaikannya menanggapi rencana segelintir lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Jakarta untuk melakukan judicial review terhadap Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

Politikus Partai Aceh itu menjelaskan qanun adalah peraturan perundang-undangan setingkat peraturan daerah (perda) yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat di Aceh sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Angka 21 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Ia menjelaskan pembentukan qanun itu sendiri tetap tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Untuk konteks hukum jinayat yang diberlakukan di Aceh, kata Iskandar, perlu dipahami bahwa hal tersebut merupakan kewenangan Aceh dalam menjalankan kehidupan bersyariat dimaksudkan sebagai jalan baru penataan peradabaan Aceh ke arah yang lebih baik sebagaimana diatur dalam Pasal 241 Ayat (4) UUPA.

“Saya perlu tegaskan bahwa kekhususan yang telah diberikan kewenengan untuk Aceh jangan coba-coba diusik. Ini adalah aturan yang dibenarkan dalam konstitusi kekhususan melaksanakan syariat Islam,” katanya.

Pada saat pembahasan qanun itu, kata dia, turut melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti kepolisian, kejaksaan, Kementerian Hukum dan HAM, ulama, dan TNI.

“Jadi, aneh kalau masih dituding bahwa qanun tersebut bertentangan dengan kerangka hukum nasional. Malah menurut saya, Qanun Nomor 6 Tahun 2014 dan Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat merupakan salah satu pembaharuan yang memperkaya tatanan hukum di Indonesia,” katanya.

Iskandar menambahkan bahwa pembentukan qanun dilakukan berdasarkan kajian mendalam dengan menerapkan prinsip kehati-hatian agar penerapan hukum sesuai dengan ajaran Islam itu akan mudah diterima masyarakat.

Setelah disahkan DPR Aceh pada bulan Oktober 2014, kata dia, qanun tersebut sengaja tidak langsung dinyatakan berlaku, tetapi menunggu selama 1 tahun, yaitu pada bulan Oktober 2015 sebagai tenggat yang disediakan khusus bagi upaya sosialisasi.

“Artinya, ini merupakan bukti bahwa qanun jinayat memang sudah dipersiapkan sebaik mungkin,” katanya.

Iskandar mengakui di awal pembentukan qanun tersebut memang sempat muncul pertentangan dari beberapa organisasi masyarakat sipil di Aceh. Pertentangan tersebut menyasar pada potensi diskriminasi terhadap kalangan minoritas dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

“Itu kan hanya opini yang sengaja dikembangkan oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan syariat Islam diberlakukan di Aceh. Apalagi, kalau ada yang membenturkan antara hukum syariat dan kaum homo, lesbian, dan sebagainya, sudah pasti tidak akan pernah nyambung,” demikian Iskandar.

Artikel ini ditulis oleh: