Jakarta, Aktual.com — Tabung aluminium berdiameter 60 mm setinggi 100 mm yang telah penuh dengan batu-batu topaz tanpa warna seberat 2,5 kg itu dimasukkan ke dalam pipa pengarah target (“stringer”).

Pipa tersebut berada di teras reaktor nuklir berdaya 15 MW mencuat enam meter di atas kolam reaktor, dalam posisi iradiasi di atas lubang lempeng “nozzle grid”.

Dalam beberapa jam (maksimal 10 jam) tabung tersebut dikeluarkan dari pipa di teras reaktor yang sedang beroperasi, menandai iradiasi batu-batu topaz telah selesai.

Batu topaz yang teraktivasi tersebut, kemudian disimpan dalam kolam penyimpanan bahan bakar bekas (“cooling down”) sampai meluruh, dan bukan lagi radioaktif (di bawah 70 Bq per gram).

Ini adalah fasilitas iradiasi di Reaktor Serba Guna GA Siwabessy milik Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Serpong, Banten yang telah bertahun-tahun menerima perlakuan (“treatment”) iradiasi untuk bebatuan mulia.

“Batu-batu topaz berwarna putih tanpa warna kurang memiliki nilai ekonomis. Setelah diiradiasi dalam teras reaktor beberapa jam berubah warnanya menjadi biru, jenis warna topaz yang sangat diminati, namun sangat jarang di alam,” kata Kepala Bidang Operasi Reaktor Pusat GA Siwabessy Batan, Yusi Eko Yulianto.

Yusi mengatakan, salah satu pemanfaat fasilitas reaktor nuklir milik Batan di Serpong yakni perusahaan permata asal Jerman yang memasok batu jenis topaz sebanyak 20 kg setiap lima hari.

Topaz yang memiliki rumus kimia Al2SiO4(FOH)3 (“aluminium silicate fluoride hydroxide”), menurut dia, adalah batu mulia paling umum di dunia yang mendapat perlakuan iradiasi terkait kesesuaiannya dengan perlakuan ini menurut hasil riset.

Data American Gem Trade Association menyebut sekitar 30 juta karat (6.000 kg) topaz diiradiasi setiap tahun di seluruh dunia.

Sementara itu, Pakar Geologi Dr Ildrem Syafri mengatakan bahwa pada hakekatnya semua “blue topaz”, baik yang berwarna biru terang maupun biru gelap seperti “London blue” yang sangat populer, merupakan hasil radiasi yang mengubah warna dari warna aslinya, putih.

Ia mengatakan, kebanyakan topaz yang ditemukan di muka bumi tanpa warna atau kecokelatan yang tampak membosankan, tapi iradiasi mampu mengubah struktur kristalnya, merelokasi atom-atom di dalamnya dan membuatnya bereaksi lain terhadap cahaya sehingga memperlihatkan warna kemilau yang lebih hidup.

Proses iradiasi batu mulia bisa melalui tiga cara, yang pertama dengan pemanfaatan reaktor nuklir berupa penembakan netron, yang kedua dengan penembakan elektron dalam akselerator dan ketiga dengan pemaparan sinar gamma dalam “iradiator cobalt”.

Seluruhnya adalah untuk meningkatkan tampilannya dengan mengubah warnanya, di mana semakin lama topaz berwarna pucat ada dalam reaktor maka semakin tegas pula warnanya, ujar dosen Fakultas Geologi Universitas Padjadjaran itu.

Sejumlah batu mulia yang biasa mendapat perlakuan iradiasi selain topaz antara lain intan, korundum (ruby dan safir) serta batuan kuarsa (amethyst, citrine, prasiolite dan smoky quartz).

Untuk intan, warna biru menuju hijau merupakan hasil dari paparan radiasi alamiah di bumi yang biasanya berasal dari partikel alpha atau beta, namun kemampuan penetrasi yang terbatas dari kedua partikel ini membuat permukaan intan hanya berwarna sebagian-sebagian saja.

Hanya radiasi energi tinggi seperti sinar gamma atau netron yang dapat menghasilkan warna yang menyeluruh, namun sumber radiasi tipe seperti ini jarang ada di alam.

Karena itulah industri permata menganggap penting treatment mempercantik semacam ini, dan bersedia mengikuti prosedur standar reaktor penyedia jasa iradiasi, tuturnya.

Teraktivasi Dalam reaktor nuklir bukan saja unsur aluminium (Al) dan silikon (Si) dalam topaz yang teraktivasi oleh tembakan netron cepat dan lambat, tetapi juga kotoran (“impurities”) lainnya yang biasa ada dalam kristal batu.

Teraktivasi artinya berubah menjadi isotop atau unsur yang berbeda, di mana isotop atau unsur baru dari kotoran dalam topaz ini seringkali bersifat radioaktif yang memerlukan waktu paruh yang panjang untuk meluruh seperti tantalum (Ta), mangan (Mn) dan scandium (Sc).

“Setelah lima hari dikeluarkan butuh waktu penyimpanan lagi dalam peti selama beberapa bulan, agar tidak ada lagi radiasi dalam topaz,” papar Yusi Eko Yulianto.

Hasil riset pola peluruhan dari 15 sampel topaz biru yang diiradiasi menyimpulkan sebagian besar sampel sudah pada level selamat dalam 95 hari sejak keluar dari reaktor, namun beberapa ada yang membutuhkan waktu bertahun-tahun terkait tingginya konsentrasi kotoran radionuklida.

Perubahan pada topaz bening alami menjadi cokelat atau hijau jelek sesudah tembakan netron justru menjadi pertanda umum bahwa pengawasan radiasi sangat diperlukan sebelum perlakuan berikutnya terhadap batu mulia.

Secara umum topaz ataupun batuan lainnya yang telah diiradiasi terlarang untuk dikeluarkan dari fasilitas reaktor nuklir sampai batu tersebut mencapai level bisa diterima secara legal, ucapnya.

Karena itu topaz hasil iradisi yang telah diperjualbelikan dalam pasar batu permata, lanjut dia, aman untuk dikenakan, karena dosis radiasinya sudah sungguh-sungguh kecil, seperti laiknya radiasi di alam.

Bahkan jika dibandingkan dengan gigi palsu yang memiliki dosis radiasi 0,07 milirem, dosis topaz besar seberat enam karat (satu karat sama dengan seperlima gram), hanya mengandung dosis radiasi separuhnya, yakni 0,03 milirem, seperti disebutkan dalam laman Komisi Pengaturan Nuklir (Nuclear Regulatory Commission) Amerika Serikat.

NRC AS selain menjamin keamanan komoditas hasil radiasi juga telah menguji ribuan karat topaz biru hasil radiasi yang merupakan permata impor di sejumlah lokasi di AS, dan menemukan bahwa topaz-topaz tersebut tidak membahayakan kesehatan.

Sedangkan di Indonesia, Batan memiliki aturan ketat dan prosedur operasi standar internasional yang sama mengenai berbagai komoditas yang mendapat perlakuan iradiasi di reaktornya, termasuk batu permata.

“Karena itulah perusahaan permata Jerman memilih Batan untuk memberi treatment untuk komoditas topaznya. Mungkin PLTN di Jerman atau di negara Eropa lainnya terlalu sibuk. Sebenarnya reaktor Batan pun jika sedang sibuk memproduksi isotop, permintaan ini akan disisihkan atau ditolak,” imbuh Yusi.

Namun, dari berbagai batu mulia lainnya, sejauh ini hanya batu topaz yang mendapat treatment di reaktor nuklir Batan, baik yang masih berupa batu bongkahan maupun yang telah menjadi permata berfaset.

Beberapa batu jenis lainnya yang dicoba untuk di-treatment di reaktor Batan seperti agate dan kalsedon belum menunjukkan hasil yang jauh lebih baik seperti laiknya topaz.

Perlakuan untuk memperindah batu mulia, tutur Ildrem Syafri, tidak hanya iradiasi, tapi juga “heat” (pemanasan), “diffusion” (difusi), “filling” (pengisian), “coating” (pelapisan), “dyeing” (pencelupan), atau “oiling” (meminyaki).

Warna kemilau pada batu hasil iradiasi meskipun cukup stabil, menurut dia, bisa juga memudar jika terkena paparan sinar kuat dan suhu tinggi, karena itu batu mulia treatment harus dijaga agar tetap indah warnanya.

Artikel ini ditulis oleh: