Dhaka, Aktual.com – Ribuan pengunjuk rasa secara brutal membakar dan membuldoser bekas rumah keluarga besar mantan Perdana Menteri (PM) Bangladesh Sheikh Hasina, serta beberapa rumah pengurus partainya, yakni Partai Liga Awami.
Dilansir dari berbagai sumber, termasuk Times Of India dan Hindustan Times, pembakaran dan pengrusakan rumah yang kini dijadikan museum itu dipicu pidato berapi-api Hasina secara daring di media sosial yang menyerukan para pendukungnya untuk menentang pemerintah sementara Bangladesh. Pidato itu disampaikan Hasina dari pengasingannya di India, tempat ia menjalani pengasingan sejak digulingkan tahun lalu.
Hasina, wanita berusia 77 tahun itu, yang telah memimpin Bangladesh selama 20 tahun, dipandang sebagai seorang otokrat yang pemerintahannya menindak keras berbagai perbedaan pendapat. Rumah yang kini dijadikan museum yang dibakar itu adalah rumah peninggalan ayahnya, yakni Sheikh Mujibur Rahman yang merupakan pendiri negara Bangladesh dan pahlawan kemerdekaan Bangladesh, yang tewas dibunuh bersama beberapa anggota keluarganya pada 15 Agustus 1975 dalam sebuah kudeta berdarah.
Ribuan massa, pada Rabu malam (5/2) waktu setempat merangsek ke bekas kediaman Hasina untuk merusak dan membakarnya. Di saat api sedang masih berkobar, sebuah ekskavator lalu turut merangsek untuk menghancurkan bangunan bersejarah itu.
Bukan hanya bekas rumah Hasina, massa juga membakar dan merusak beberapa rumah serta lokasi lokasi bisnis para pemimpin senior Liga Awami. Seruan di media sosial menyerukan agar negara dibersihkan dari ”situs ziarah fasisme.”
Saksi mata mengatakan kepada Reuters ribuan pengunjuk rasa, beberapa dipersenjatai dengan tongkat, dan palu, dan berbagai perkakas lainnya, berkumpul di sekitar rumah bersejarah dan monumen kemerdekaan, sementara yang lain membawa derek dan ekskavator untuk menghancurkan bangunan.
Rapat umum para demonstran digelar dengan seruan yang lebih luas, yang dijuluki ”Prosesi Buldoser” untuk meng-counter pidato online Hasina yang dijadwalkan Rabu (5/2) pukul 21.00 waktu setempat.
Para pengunjuk rasa yang tergabung dalam kelompok ’Mahasiswa Melawan Diskriminasi’ akhirnya meluapkan kemarahan mereka atas pidato Hasina, yang mereka anggap sebagai tantangan bagi pemerintahan sementara yang baru dibentuk. Namun entah bagaimana rapat umum malah berujung pada pembakaran dan pengrusakan.
Untuk diketahui, ketegangan terus meningkat di Bangladesh sejak Hasina digulingkan dari kekuasaannya pada Agustus 2024 lalu, ketika protes massa memaksa Hasina melarikan diri ke India. Pemerintahan sementara yang dipimpin peraih Nobel Perdamaian Muhammad Yunus, terus berjuang untuk mempertahankan kendali karena protes dan kerusuhan terus berlanjut.
Bangunan yang dibakar itu adalah simbol pendirian negara, yang merupakan rumah pendiri Bangladesh, Sheikh Mujibur Rahman yang bergelar kehormatan Bangabandhu (teman Benggala). Ironisnya, rumah tersebut menjadi tempat tragedi nasional. Mujibur Rahman dan sebagian besar keluarganya dibunuh di rumah itu pada 15 Agustus 1975 dalam sebuah kudeta berdarah. Namun Sheikh Hasina dan Sheikh Hasina selamat dari pembantaian itu, lantaran keduanya sedang berada di Jerman Barat. Oleh Hasina bersaudara, bangunan bersejarah itu diubah menjadi museum yang didedikasikan sebagai warisan ayah mereka.
Di bawah pemerintahan Awami League atau Partai Awami pimpinan Hasina, rumah ini kemudian diubah menjadi Bangabandhu Memorial Museum, yang menjadi tujuan kunjungan para kepala negara dan pejabat tinggi asing sebagai bagian dari protokol resmi.
Hasina sendiri dalam menanggapi penghancuran dan pembakaran itu mengatakan sejarah tidak dapat dihancurkan. Ia juga menuduh pemerintahan sementara pimpinan Muhammad Yunus merebut kekuasaan secara inkonstitusional dan mendesak rakyat Bangladesh untuk bangkit melawan.
”Mereka dapat menghancurkan sebuah bangunan, tetapi tidak dengan sejarahnya. Sejarah akan membalasnya,” lontar Hasina yang menjabat sebagai perdana menteri periode 1996-2001 dan 2009-2024.
Sesaat setelah Sheikh Hasina digulingkan pada Agustus 2024 lalu, kemudian pergi ke India hingga kini, ia menuding adanya keterlibatan Amerika Serikat (AS) dalam penggulingannya. Menurutnya, AS membalas dendam karena keinginan AS memiliki pangkalan militer di Bangladesh ditolaknya mentah-mentah. Namun pihak AS melalui juru bicara Gedung Putih saat itu, Karine Jean Pierre serta merta membantahnya.
(Indra Bonaparte)
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain