“Karena sifatnya off budget, maka dana tersebut tidak dicatat sebagai uang masuk dan atau uang keluar di dalam APBD DKI,” jelas dia.

Contoh dana off budget itu, disebutnya, bisa dilihat dari kesaksian Ariesman Wijaya mantan Dirut PT Agung Podomoro Land di Pengadilan Tipikor DKI atas kasus suap Raperda Reklamasi, Muhamad Sanusi Ketua Komisi D DPRD DKI, pada bulan September 2016 lalu.

Ariesman mengakui bawa telah menyetor Rp1,6 triliun kepada Pemprov DKI. Setoran itu antara lain, berupa rusunawa Daan Mogot, infrastruktur jalan, dan lainnya. Itu merupakan bagian dari kontribusi tambahan dalam proyek reklamasi yang Perdanya belum ada dan Raperdanya baru dibahas di DPRD DKI.

Sehingga dana sebesar ini pun tidak tercatat dalam APBD DKI, baik dalam catatan uang masuk maupun uang keluar. Sehingga akhirnya, tak terjangkau oleh audit Badan Pemeriksa Kuangan (BPK) , karena kewenangan BPK hanya mengaudit APBD.

“Jadi dengan dana itu, BPK dan DPRD tidak tahu, apalagi pihak lain. Inilah yang disebut dana off budget yang sangat rawan korupsi, bebas dari audit pihak manapun. Dan melanggar aturan. Baik PP 58 tahun 2005 atau UU Keuangan Negara,” urainya.

Menurutnya, bisa dibayangkan, jika modus yang sangat rawan korupsi ini ditiru oleh para gubernur di seluruh Indonesia. ‘Pasti akan makin besar saja korupsi di negara kita,” pungkasnya.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka