Padang, Aktual.com — Sebuah kedai di jalan raya Bukittinggi-Payakumbuh, sekitar tujuh kilometer di Timur Bukittinggi, Sumatera Barat, tidak pernah sepi pengunjung, terutama saat libur.

Sampai tengah malam, puluhan sepeda motor dan beberapa mobil tampak berjajar rapi di arena parkir, yang sebagian mengambil lintasan rel kereta api yang sudah puluhan tahun tidak berfungsi.

Di bagian belakang kedai dengan luas sekitar 150 meter persegi itu, terbentang sawah yang baru saja panen. Dari kejauhan terlihat kerlap-kerlip lampu rumah penduduk di lereng Gunung Marapi yang tampak bagaikan kunang-kunang.

Sebagian besar pengunjung yaitu, anak muda berstatus pelajar SMA dan Mahasiswa, meski satu dua juga terlihat keluarga yang membawa anak-anak.

Di sebuah sudut, dua remaja laki-laki dengan hidung, telinga dan bahkan bibir penuh tindikan, serta lengan dan kaki penuh tato, terlihat sedang asyik berbincang tidak tentu arah.

Sementara di sampingnya, seorang gadis berjilbab asyik membaca sebuah novel berjudul “Negeri Lima Menara”, karya Ahmad Fuadi, penulis kelahiran Desa Bayur, Maninjau, Sumatera Barat.

Di hadapan mereka, terhidang minuman khas Minangkabau yang saat ini sedang naik daun, yaitu kawa daun. Kawa dalam bahasa Minang berarti kopi dan kawa daun berarti minuman yang berasal dari seduhan daun kopi, seperti teh.

Kawa daun dihidangkan di dalam tempurung kelapa dan tatakan bambu, sebuah wadah alami yang menjadi ciri khas dan secara turun temurun digunakan sejak zaman penjajahan Belanda. Sebagai pendamping, tersedia pisang goreng, tahu, tempe, ketan merah, bika dan tapai goreng.

Bagi penikmat kopi biasa, kawa daun mungkin terasa agak aneh di lidah karena rasanya yang agak sepat, tapi akan terasa nikmat jika diminum secara perlahan sambil santai.

Sebagai variasi, tersedia kawa daun dengan berbagai turunannya, yaitu rasa manis, rasa susu, jahe, atau dicampur telur (kawa telur).

Dalam sepuluh tahun terakhir, kawa daun memang sudah “naik kelas” dari minuman kaum “inferior” dan terbelakang menjadi hidangan favorit dan bahkan sudah menjadi semacam gaya hidup di Sumatera Barat, terutama di kalangan anak muda.

Hampir di seluruh pelosok negeri, mulai dari kota sampai dusun, terdapat kedai dengan kawa daun sebagai hidangan utama. Pada umumnya, kedai tersebut, apa pun ukurannya, terbuat dari bambu dan menyediakan balai balai untuk duduk bersila para tamu.

Harganya yang sangat murah, mulai dari Rp3.000 per porsi, membuat kedai-kedai tersebut penuh dengan para pelajar atau mahasiswa untuk mengisi waktu santai.

Minuman khas kawa daun dipopulerkan kembali sejak 11 tahun lalu oleh Syafrizal Sutan Mangkuto, warga desa Tanjung Alam, Kabupaten Tanah Datar, dengan mendirikan kedai yang diberi nama Kawa Daun Mangkuto.

Bagi masyarakat lokal, kedai yang berdiri di pinggir tebing di jalan raya yang menghubungkan Kota Payakumbuh dan Batusangkar tersebut sampai saat ini lebih populer dengan nama kedai kawa daun Tabek Patah, dan sering dikunjungi awak media untuk liputan kuliner.

Syafrizal menceritakan, bahwa dirinya memulai usaha dengan mendirikan kedai kawa daun sekitar 11 tahun lalu dan pada enam bulan pertama, tidak banyak orang yang melirik.

“Tidak banyak orang yang tertarik dengan kawa daun ketika itu, mungkin mereka berpikir ini jenis minuman zaman dahulu dan kuno,” kata Syafrizal.

Tapi seiring dengan perjalanan waktu, masyarakat mulai tertarik, dan yang lebih menggembirakan, penggemar kawa daun justru anak-anak muda yang menjadikan kedainya sebagai tempat kumpul-kumpul.

Sejak itulah, kawa daun perlahan tapi pasti mulai dikenal luas dan pengikut Syafrizal pun mulai bermunculan di sekitar Kabupaten Tanah Datar, sampai akhirnya menyebar merata hampir seluruh penjuru Sumatera Barat.

Dengan bangga, Syafrizal bercerita bahwa informasi mengenai kedai Mangkuto miliknya sekarang sudah beredar di dunia maya berkat liputan berbagai media massa, maupun media sosial.

“Alhamdulillah, kawa daun sekarang sudah dikenal kembali oleh masyarakat Minang sendiri,” kata Syafrizal yang mengaku meraih penjualan rata-rata Rp2,5 juta per hari.

Prospektif Langkah jauh lebih maju dilakukan oleh Surya Wedi (50 tahun), warga Kota Payakumbuh dengan mendirikan pabrik kawa daun dengan kemasan plastik modern dengan merek dagang d’ Kawa UWO.

Pada etape ke-5 Tour de Singkarak 2015 pada 7 Oktober lalu yang finish di Payakumbuh, kawa daun produk Surya dipercaya sebagai minuman resmi dan ternyata menjadi minuman favorit para pembalap, panitia dan wartawan.

Tidak tanggung-tanggung, Surya mengincar pasar ekspor dengan tujuan AS setelah produknya diikutkan serta dalam Ekspo Tahunan Asosiasi Kopi Amerika (SEAA) di Seattle, AS pada April 2014 dan langsung mendapat permintaan ekspor ke San Diego oleh pengusaha setempat.

“Persyaratan mereka soal kualitas memang sangat ketat dan terkesan rewel, tapi semua sudah bisa dipenuhi dan tinggal masalah administrasi,” kata Surya yang mendapat dukungan penuh dari Pemda Provinsi Sumatera Barat maupun Kota Payakumbuh.

Sebagai sarjana antropologi lulusan Universitas Andalas, Padang, Surya bertekad untuk menjadikan kawa daun sebagai identitas kuliner tradisional Minangkabau yang terstandarisasi, sekaligus sebagai minuman kesehatan (herbal) yang dikenal secara nasional bahkan internasional.

Mengutip hasil penelitian dr Aaroon Davies, pakar kopi dari Royal Botanic Garden dari Inggris, daun kopi menyimpan kandungan mangiferin yang berkhasiat mengurangi risiko diabetes, kolesterol darah, kanker dan melindungi neuron otak.

Apa yang dilakukan oleh Surya memang berbeda dengan kawa daun tradisional lainnya yang menjamur di seluruh negeri Sumatera Barat, baik dari tampilan gerai yang berlokasi di tengah Kota Payakumbuh, maupun variasi minuman dan makanan pendamping.

Terdapat tidak kurang enam variasi kawa daun yang tersedia, yaitu kawa original, kawa telur, kawa susu, kawa jahe, kawa lemon dan kawa es, dengan makanan pendamping ketan srikaya dan tongkang (singkong) goreng.

Batok kelapa sebagai wadah pun dirancang sedemikian rupa berbentuk rumah adat Minangkabau, berbeda dengan kedai pada umumnya.

Namun tidak banyak yang mengetahui bahwa minuman kawa daun sebenarnya mempunyai sejarah “kelam”, yaitu saat penjajah Belanda melalui Gubernur Van Den Bosch menerapkan tanam paksa (Cultuurstelsel) pada 1840-an.

Ketika itu, penduduk diharuskan menanam kopi yang semua biji hasil panen diboyong ke Belanda untuk dieskpor ke Eropa. Sementara penduduk bisa menikmati daunnya yang kemudian dioleh menjadi kawa.

“Itu kan sejarah dan kita tidak harus tenggelam bersamanya. Bisa jadi kalau bukan karena sejarah itu kita tidak mengenai kawa daun seperti sekarang,” demikian kata Surya Wedi.

Artikel ini ditulis oleh: