Dua tahun masa pemerintahan Joko Widodo–Jusuf Kalla - Perbaikan penegakan Hukum. (ilustrasi/aktual.com)
Dua tahun masa pemerintahan Joko Widodo–Jusuf Kalla - Perbaikan penegakan Hukum. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Gerakan Mahasiswa, Pemuda, Rakyat, Buruh Tani, Nelayan (GEMPARI)dan Front Rakyat Pribumi (FRP) akan menggelar aksi di depan Gedung DPR/MPR RI Senayan, Jumat (28/10) siang. Massa yang terdiri dari berbagai elemen itu menuntut dikembalikannya UUD 1945 Asli, menolak rezim Jokowi dan penangkapan Ahok.

Mereka adalah Aliansi Tarik Mandat, Gerakan Selamatkan Indonesia, BEM Setanah Air, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, Institute Sukarno-Hatta, Gerakan Bela Negara, Aliansi Masyarakat Banten Menggugat, Satuan Jakarta Muda, Persatuan Pemuda Nasional, Gerakan Pribumi Indonesia, Laskar Bugis Makassar, Warung NKRI, Laskar Pribumi, Aliansi Masyarakat Jakarta, Gerakan Masyarakat Jakarta dan Aliansi Mahasiswa Kalimantan Menggugat.

Dalam keterangan tertulisnya, Jumat (28/10), Koordinator Aksi Beni Pramula mengungkapkan, Indonesia saat ini dalam keadaan karut-marut. Dari keterjajahan kedaulatan yang menindas rakyat, korupsi, oligharki penguasa, keran ekononomi liberal hingga masalah penentuan BBM ke pasar.

“Deregulasi cenderung ‘menjual’ daripada ‘menguntungkan’ negara. Rupiah kian melemah saat ini, hutang negara sudah mencapai RP 4.257 triliun,” kata dia.

Semua itu, salah satunya disebabkan oleh lemahnya kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Presiden tidak bisa melepaskan diri dari kepentingan elit politik dan pemilik modal besar dibelakangnya. Ia juga menyoroti kinerja aparat penegak hukum yang semakin melemah.

“Dua tahun memimpin, penegakkan hukum makin sulit terwujud, KPK dan Kepolisian malah semakin lemah, aparatur Negara dibenturkan dengan rakyat. Sejumlah kasus-kasus besar semakin tak jelas penyelesaiannya,” kata dia.

Di tengah kondisi tersebut, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) muncul dengan pernyataan yang kontroversial. Pernyataan yang menyeretnya dalam kasus dugaan penistaan agama. Apa yang ditunjukkan Ahok secara tidak langsung menjadi puncak dari berbagai kebijakan Ahok selama ini.

“Meski sentimen anti Ahok di Jakarta bukan hanya dipicu oleh kasus Penistaan Agama, namun kasus itu kini menjadi puncak gunung es atas kebijakan pemerintah DKI yang selama 4 tahun terakhir tak henti melakukan penggusuran dengan kekerasan,” urai Beni.

“Ribuan umat Islam turun ke jalan mendesak Ahok diadili sebagaimana UU dan hukum yang berlaku di Indonesia. Sikap kepolisian yang tidak responsive membuatnya menjadi bola salju yang terus membesar,” sambung dia.

Ditambahkan, Kedekatan dan atau pemihakan kebijakan politik Ahok pada para pengembang etnis China yang menguasai seluruh bisnis perumahan, apartemen dan berbagai bentuk property di Jakarta, membuat sentimen anti ahok merembet menjadi sentiment anti China dan tidak hanya menguat di Jakarta namun di berbagai daerah di Indonesia.

Sementara dalam skala yang lebih besar, pemerintahan Jokowi juga menyerahkan berbagai mega proyek ke China. Hal itu berbanding lurus dengan melimpahnya buruh China ke Indonesia. Pada gilirannya, dikhawatirkan kebijakan demi kebijakan pemerintah membuat martabat, kemandirian dan kedaulatan bangsa Indonesia tergadaikan.

“Kini rakyat kehilangan rasa amannya, kekhawatiran akan masa depan mereka karena hak-hak asasi yang terus ditindas, diintimidasi dan terancam terusir dari tanahnya. Kesenjangan antara yang kaya dan miskin makin terlihat dan melebar,” tegas Beni.

Terakhir, massa akan mendesak dikembalikannya Pancasila dan UUD 1945 Asli. Kembali kepada pesatuan nasional untuk menghadapi ancaman kolonialisme dan imperialism. Persatuan dalam menghadapi ancaman penguasaan asing dari negeri manapun termasuk ancaman penguasaan China atas tanah air Indonesia.

“Musuh rakyat bukan sesama Rakyat. Musuh bangsa bukan sesama bangsa. Musuh rakyat dan bangsa Indonesia adalah imperialis asing,” demikian Beni.[Soemitro]

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Andy Abdul Hamid