Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Archandra Tahar memimpin rapat internal di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (29/7). Menteri ESDM pengganti Sudirman Said tersebut mempersiapkan tiga kebijakan yang akan dijalankan dalam membenahi sektor energi, yaitu pemanfaatan sumber daya alam, membangun kedaulatan energi guna menjamin pasokan kebutuhan, dan memberikan jaminan kepastian hukum bagi investor luar dan dalam negeri. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/aww/16.

Jakarta, Aktual.com – Presiden Joko Widodo memberhentikan dengan hormat Menteri ESDM Arcandra Tahar pada Senin (15/8) malam karena ketahuan memiliki dua pasport dari dua negara yang berbeda. Yakni Amerika Serikat dan Indonesia.

Untuk kewarganegaraan Amerika Serikat, Archandra disebut-sebut telah mengambil sumpah setia sebagai warga negar adidaya tersebut. Akan tetapi, dengan memberhentikan Archandra, secara tidak langsung Presiden Jokowi sebelumnya juga mengakui telah mengangkat WNA sebagai anggota kabinetnya.

“Dengan memberhentikan dengan hormat itu artinya Jokowi mengakui bahwa Presiden RI pernah mengangkat Menteri yang WNA dan ini jelas-jelas melanggar Undang-Undang Kementerian Negara,” terang Sekretaris Jenderal ProDEM, Satyo P, kepada Aktual.com, Selasa (16/8).

Dengan memberhentikan secara terhormat, Presiden Jokowi juga mengakui produk peraturan yang telah ditandatangani oleh Archandra Tahar sebagai Menteri ESDM dianggap sah. Misalnya kebijakan Archandra dalam memperpanjang izin eksport konsentrat PT Freeport dan mungkin saja ada peraturan lainnya.

Padahal, lanjut Setyo, mengangkat WNA menjadi menteri itu pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Kementerian Negara dan Undang-Undang Kewarganegaraan RI.

Semestinya yang dilakukan Jokowi itu adalah Pembatalan SK pengangkatan Archandra Tahar sebagai menteri bukan pemberhentian sebagai Menteri. Dengan begitu harus dianggap tidak pernah ada menteri yang bernama Archandra Tahar, karenanya pula semua produk peraturan dari Archandra Tahar juga otomatis dianggap tidak pernah ada.

Di sisi lain, ProDEM menilai Presiden Jokowi dapat diduga memang punya niat yang tidak utuh dalam menjaga Konstitusi Negara RI sehingga walaupun kelak SK Pemberhentian tersebut dirubah lagi menjadi SK Pembatalan, maka dapat dikatakan Jokowi sudah melakukan tindakan tercela.

“DPR dapat menggunakan Hak Interpelasi dan seterusnya MPR dapat menggelar sidang ‘Impeachment’ kepada Jokowi,” demikian Setyo. (Soemitro)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Andy Abdul Hamid