Jakarta, Aktual.com – Terdakwa kasus penodaan agama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menuding Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma’ruf Amin, ‘main mata’ dengan pasangan calon gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni.

Ma’ruf dituduh menyusupkan kepentingan AHY-Sylvi dalam konstestasi Pilkada DKI melalui Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI, atas pernyataan Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, 27 September 2016 lalu.

Kesal disebut tidak objektif, Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh pun membuka bagaimana proses penentuan Pendapat dan Sikap Keagamaan yang menyatakan Ahok telah menodai agama Islam dan Ulama.

Pada awal penjelasan, dengan besar hati Asrorun mengakui bahwa Kiai Ma’ruf memang tidak melihat secara utuh video pidato Ahok saat kunjungan kerja ke Pulau Pramuka. Kata dia, meski tak melihat videonya, bukan berarti Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI cacat hukum.

“Komisi Pengkajian MUI mendalami secara serius, mulai dari telaah video, transkrip hingga validasi ke Kepulauan Seribu. Proses penetapan pendapat dan sikap Keagamaan dengan melibatkan empat komisi di MUI,” beber Asrorun dalam keterangan tertulisnya, Rabu (1/2).

Ditekankan Asrorun, dalam Pendapat dan Sikap Keagamaan, MUI memang tidak fokus membahas makna surat Al Maidah 51 dan tafsirnya. Tapi membahas dan mengkaji pernyataan Ahok.

“Yang dibahas, apakah (pernyataan Ahok) masuk kategori menghina Al Qur’an dan ulama atau tidak, dalam perspektif agama Islam,” jelasnya.

Dengan demikian, menurut Asrorun salah jika kemudian Ahok dan pengacaranya mempertanyakan, mengapa MUI tidak tabayun atau klarifikasi ke Ahok. Tabayun yang dilakukan MUI adalah untuk memastikan apakah rekaman ucapan itu benar apa tidak, yaitu dengan konfirmasi pada pihak-pihak yang bisa dimintai penjelasan.

“Karenanya, tim MUI juga konfirmasi ke Kepulauan Seribu, untuk tabayun terkait benar tidaknya rekaman ucapan itu disampaikan oleh BTP,” terangnya.

Setelah memperoleh konfirmasi kebenarannya, maka tim pengkajian memberikan data ke Komisi Fatwa MUI, untuk dibahas dalam perspektif agama.

“MUI fokus pada teks, tidak mengejar niat, karena dalam menetapkannya, MUI berpegang pada yang tersurat, Nahnu nahkumu bi al zhawahir, Wallaahu yatawalla al sarair,”

Bahkan, pada 9 Oktober 2016, MUI DKI mengeluarkan Surat Teguran untuk Ahok. Pada 11 Oktober 2016, MUI Pusat mengeluarkan Pendapat dan Sikap Keagamaan. Keduanya tidak bertentangan, bahkan paralel.
Surat MUI DKI juga ditembuskan ke MUI Pusat, yang juga dijadikan masukan dalam penetapan Pendapat dan Sikap Keagamaan. Ketua Umum dan Sekum MUI DKI juga menjadi anggota Komisi Fatwa MUI Pusat.

“Proses pembahasan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI telah dimulai sejak awal Oktober 2016, sebelum MUI DKI mengeluarkan Surat Teguran. Dengan demikian, asumsi yang menggambarkan bahwa MUI Pusat menetapkan Sikap dan Pandangan Keagamaan secara mendadak, tiba-tiba atau tergesa-gesa, sangat tidak beralasan,” tegas Asrorun.

Prosesnya pun cukup lama, dengan melibatkan empat komisi, Komisi Pengkajian, Komisi Fatwa, Komisi Hukum, dan Komisi Infokom. Pembahasan diawali dengan penelitian oleh Komisi Pengkajian, dilanjutkan ke Komisi Fatwa, Hukum dan Infokom. Setelah itu dibawa ke Rapat Pimpinan Harian, setelah itu dirumuskan sebagai hasil dari Rapat Pimpinan.

Terakhir soal, quorum atau tidak rapat penentuan pendapat dan sikap keagamaan MUI. Perlu dijelaskan, bahwa dalam Pedoman MUI, rapat komisi fatwa dapat dilaksanakan jika sudah mencapai jumlah anggota yang dianggap memadai oleh pimpinan.

“Dengan demikian, kuorum tidak terkait dengan jumlah minimal kehadiran. Walau demikian, dalam rapat-rapat pembahasan, peserta rapat dari sisi jumlah, bahkan lebih banyak dari rapat-rapat Komisi Fatwa pada kasus yang lain,” ucapnya.

Pada rapat Komisi Fatwa membahas kasus BTP itu, hadir Ketua MUI yang membidangi Fatwa, Ketua dan Wakil-Wakil Ketua Komisi Fatwa, Sekretais dan wakil-wakil Sekretaris Komisi Fatwa, dan puluhan anggota Komisi Fatwa.

Hadir pula lima guru besar dari berbagai bidang, fikih, ushul fikih, hukum, dan tafsir. Ada juga akademisi dari berbagai kampus, antara lain UIN Jakarta, UI, Institut Ilmu Al Qu’ran Jakarta, Universitas At-Tahiriyah Jakarta, UAD, Perguruan Tinggi Ilmu Al Qur’an, dan lain-lain. Ada juga Rektor IIQ dan Direktur Pascasarjana IIQ.

(Zhacky Kusumo)

Artikel ini ditulis oleh: