Jakarta, Aktual.com — Dalam menjalani kehidupan antar umat beragama seperti saat ini, seringkali Muslim mengalami dilema dengan makna toleransi dan bertoleransi itu sendiri.
Tak lebih, hal itu rupanya merupakan aspek penting yang dibutuhkan antar umat beragama untuk mewujudkan kedamaian suatu negara dengan tidak mengabaikan nilai-nilai atau pun prinsip yang melekat pada masing-masing dari keyakinan yang dianut tersebut.
Adapun, salah satu hal yang menjadi pertanyaan bagi kita sebagai umat Muslim yaitu bolehkah kita memasuki tempat ibadah non muslim? Misalnya memasuki Gereja, Pura atau Kuil.
Baik itu, karena adanya keperluan khusus atau pun hanya sekedar melihat-lihat saja. Berikut ini Aktual.com sajikan ulasannya.
Dalam hal ini, ada tiga pendapat para Ulama yang masing-masing dari pendapat tersebut bisa diambil fatwanya untuk diyakini. Antara lain:
Pendapat pertama. Hukum masuk ke dalam Gereja itu haram. Inilah pendapat Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah. Akan tetapi, Ulama Syafi’iyah mengaitkan hukum haram jika di gereja tersebut ada gambar. Ulama Hanafiyah melarang secara mutlak karena Gereja adalah tempat berdiamnya setan.
Pendapat kedua. Hukum masuk Gereja itu makruh. Inilah pendapat Ulama Hambali. Namun ulama Hambali mengaitkan terlarangnya jika di situ terdapat gambar atau foto.
Pendapat ketiga. Boleh secara mutlak masuk Gereja. Inilah pendapat ulama Hambali.
Dari pendapat yang disampaikan tersebut, dapat disimpulkan tidak ada dalil tegas yang melarang Muslim masuk Gereja. Kemudian, adanya patung atau gambar di suatu tempat, hal itu bukan berarti kita tidak boleh masuk ke tempat tersebut. Yang berdosa saat itu adalah yang membuat gambar atau patung.
Hal ini sesuai dengan Riwayat yang mendukung bolehnya masuk gereja,
وروى ابن عائذ في ” فتوح الشام ” أن النصارى صنعوا لعمر رضي الله عنه حين قدم الشام طعاما فدعوه ، فقال أين هو : قالوا : في الكنيسة ، فأبى أن يذهب ، وقال لعلي : امض بالناس فليتغدوا ، فذهب علي بالناس ، فدخل الكنيسة وتغدى هو والمسلمون ، وجعل علي ينظر إلى الصور ويقول : ما علي أمير المؤمنين لو دخل .
Ibnu ‘Aidz meriwayatkan dalam Futuhusy Syam, bahwa orang Nasrani pernah membuatkan sajian untuk ‘Umar radhiyallahu ‘anhu ketika beliau tiba di Syam. Ketika itu beliau diundang makan, maka tanya beliau, “Di mana undangan makan tersebut?”
“Di Gereja”, ada yang menjawab. Umar pun enggan memenuhi undangan tersebut. Umar pun mengatakan pada ‘Ali, “Pergi engkau bersama yang lainnya, lantas makanlah di sana.” Ali pun pergi bersama yang lain. Ali memasuki gereja, lantas beliau dan kaum muslimin lainnya makan di sana. Ketika itu, Ali melihat patung-patung yang ada dalam gereja lalu beliau berkata, “Apa yang Ali –amirul mukminin- lakukan ketika ia masuk?”
Ibnu Qudamah rahimahullah pernah menerangkan mengenai hukum masuk ke suatu tempat yang ada patung di dalamnya. Beliau memaparkan, “Seperti itu tidaklah haram. Adapun bolehnya tidak memenuhi undangan orang yang memajang patung (gambar) di rumahnya adalah sebagai bentuk hukuman (punishment) bagi yang mengundang atas kemungkaran yang ia lakukan. Sebenarnya tidak wajib bagi yang melihat seperti itu untuk keluar dari rumah. Inilah yang nampak dari perkataan Imam Ahmad.” (Al Mughni, 8: 113)
Dalam fatwa Al Lajnah Ad Daimah (2: 115) disebutkan, “Jika pergi ke Gereja untuk menunjukkan sikap toleransi, maka tidak boleh. Namun jika itu sebagai langkah awal untuk berdakwah, mengajak non muslim pada Islam, tetapi tanpa turut serta dalam ibadah mereka, juga tidak khawatir terpengaruh dengan ibadah, kebiasaan dan taklid pada mereka, itu boleh.”
Mengingat hal itu, Ustad Khalifah Ali kepada Aktual.com, mengatakan, “Sekedar masuk tidak apa, tapi jika diudang untuk hadir dalam acara keagamaan mereka maka hukumnya haram, tapi itu tidak langsung menjadikannya kafir, kecuali jika jelas-jelas dia menyatakan kekafiran.” Waallahu a’lam,”
Penjelasan di atas diringkas dari Fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 111832.
Artikel ini ditulis oleh: