Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (kanan) didampingi sejumlah pejabat Kemenag, mengikuti Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR, di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (22/1). Lukman Hakim Saifuddin kaget menerima kabar lima fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat condong setuju isu lesbian, gay, biseksual, dan transgender atau LGBT. Pembahasan LGBT ini masuk dalam Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Menag menegaskan LGBT harus ditolak karena bertentangan dengan ajaran agama. AKTUAL/Tino Oktaviano
Bagaikan disambar petir di siang hari. Mungkin itu yang bisa menggambarkan perasaan umat Islam pasca diterbitkannya rekomendasi 200 nama mubaligh atau penceramah untuk meyiarkan kegiatan keagamaan baik di lembaga, instansi, maupun masyarakat umum di rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini melalui Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saiffudin, Jumat (18/5).

Pasalnya, belum usai persoalan tentang aksi tindak pidana terorisme yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, yang suka tidak suka mulai dilekatkan kembali kepada umat Islam. Rekomendasi yang dikeluarkan Sang Pembantu Presiden justru membuat polemik yang sangat kontroversi, khususnya di kalangan umat.

Padahal, berdasarkan keputusan menteri agama Nomor 39 Tahun 2015, seperti yang dikutip dalam laman situs resmi Kementerian Agama Republik Indonesia itu memiliki visi ‘Terwujudnya Masyarakat Indonesia yang taat Beragama, Rukun, Cerdas, dan Sejahtera Lahir Batin dalam rangka mewujudkan Indonesia yang berdaulat, Mandiri, dan berkepribadian Gotong Royong.’

Namun, rekomendasi yang dikeluarkan menteri agama suka tidak suka sudah membentuk disparitas sosial, diantara masyarakat terjadi sikap pro terhadap langkah Menag dan tentunya banyak yang kontra.

Pihak pro beralasan, rekomendasi ini penting untuk mengetahui mubaligh atau ustadz mana yang memiliki kapasitas keilmuan bagus dan mana yang tidak. Dengan begitu, umat Islam akan mendapat siraman tausiyah yang berbobot.

Sementara kelompok yang kontra, lebih mempertanyakan urgensi, kebutuhan, dan pemilihan nama-nama itu. Apalagi, banyak nama mubaligh yang secara keilmuan bagus dan dikenal luas masyarakat, justru tidak masuk daftar rekomendasi tersebut.

Masyarakat sebagian menilai, aksi Menag sebagai upaya membuka pintu terjadinya pembredelan kebebasan dalam berbicara. Sebab, suka tidak suka, ada pihak yang justru memanfaatkan langkah Menag untuk melebelkan seseorang ustadz atau penceramah layak atau tidak.

Bahkan, ada pihak yang menjadikan tameng bahwa mubligh yang tidak masuk dalam rekomendasi sebagai pendakwah yang tidak berlandaskan pada ideologi Pancasila alias bertentangan dengan NKRI.

Bukan tanpa alasan, upaya pemerintah melalui Menag dalam  memainkan perannya dengan mememilih 200 nama mubligh berdasarkan atas tiga kriteria yang telah ditetapkan.

Menurut Juru Bicara Kemenag, Mastuki, setidaknya ada tiga kriteria untuk merumuskan penceramah yang dianggap mempunyai kompetensi untuk memberi ceramah alias terverifikasi.

Syarat pertama, dilihat dari kompetensi keilmuan yang bersangkutan. Selain itu dilihat juga dari kualifikasi pendidikan dan pemahaman keagamaannya.

Kedua, penceramah tersebut mesti mempunyai integritas dan reputasi yang baik di mata masyarakat. Dan selanjutnya, kriteria ketiga adalah penceramah mempunyai komitmen untuk memperkuat persatuan dan kebangsaan. Sebab, sambung dia, diperlukan mubalig yang moderat untuk memperkuat komitmen kebangsaan saat ini.

Rekomendasi Kemenag Potensi Memecah Belah Umat dan Ulama

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Novrizal Sikumbang