Pembeli berbelanja daging sapi di Pasar Tradisional Peunayong, Banda Aceh, Senin (23/5). Menjelang tradisi meugang atau hari memotong ternak Ramadan di Aceh, harga daging sapi di daerah itu mulai naik dari Rp120.000 per kg menjadi Rp130.000 per kg. ANTARA FOTO/Ampelsa/16

Jakarta, Aktual.com — Ketua Komite Daging Sapi Jakarta Raya, Sarman Simanjorang menilai, bahwasanya tujuan swasembada daging hanyalah angan-angan pemerintah yang dipaksakan. Hal itu terbukti dengan tingginya harga daging di pasaran sejak pertengahan Januari lalu.

“Setiap tahun terjadi gejolak harga daging sapi apalagi menjelang bulan Ramadhan dan Idul Fitri, dan Kementerian Pertanian sangat memaksakan diri bahwa kita akan swasembada daging,” ucap dia melalui pesan singkatnya, Jakarta, Kamis (9/6).

Sarman menuturkan, adanya angan-angan swasembada daging bermula pada tahun 2011, saat pemerintah mengambil kebijakan untuk mengurangi kuota impor hampir 60% dengan asumsi daging lokal mampu memenuhi kebutuhan pasar.

“Kebijakan ini diambil berdasarkan sensus sapi yang dilaksanakan BPS bahwa populasi sapi Indonesia mencapai 14.8juta ekor. Dengan dasar angka tersebut Indonesia sudah layak swasembada daging,” tutur Sarman.

Sayangnya, kata Sarman, dalam sensus tersebut daging yang sejatinya milik masyarakat juga ikut dihitung milik Negara. Alhasil, banyaknya jumlah daging yang masuk dalam sensus belum tentu menjadi stok daging nasional.

“Ini yang perlu dibedah secara tuntas, jangan karena ego sektoral Kementerian Pertanian dengan mengedepankan pencitraan seolah-olah kita sudah layak swasembada,” terang Sarman.

Sebab itu, kata Sarman, bilamana kondisi ini diteruskan, pemerintah akan mengorbankan masyarakat yang mengkonsumsi daging, baik itu pengusaha ataupun rumah tangga.

“Jika kondisi ini masih tetap dipaksakan maka  gejolak harga daging setiap tahun akan dipastikan akan terulang,” pungkas dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka