Jakarta, Aktual.com – Pelaksana tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta, Sumarsono, menyatakan Pemprop DKI menghentikan lelang sejumlah proyek pembangunan fisik di Ibu Kota, Rabu (2/11). Keputusan penundaan ini dilakukan sampai KUAPPS selesai dilakukan.
Salah satu pertimbangannya adalah proyek tersebut mendapat persetujuan dari DPRD melalui rapat kebijakan umum anggaran dan prioritas plafon sementara (KUAPPS) untuk APBD DKI 2017. Kesepakatan KUAPPS antara eksekutif dan legislatif ini menjadi prosedur pelelangan setiap proyek.
Selain itu, dalam sistem pemerintahan daerah, KUAPPS memiliki posisi penting sebagai dokumen politik awal yang menjadi pijakan bersama. Terutama bagi eksekutif dalam melaksanakan program kegiatannya di daerah.
Jauh sebelum itu, Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Indonesia sudah mengkritisi soal lelang proyek pembangunan ini. Dimana DPRD dalam penilaiannya tidak berdaya dalam menghadapi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
“DPRD seharusnya tegas mempertanyakan motif dibalik kebijakan Gubernur Ahok melakukan percepatan lelang sejumlah proyek di DKI Jakarta sebelum pembahasan APBD,” tegas Direktur KOPEL Indonesia Syamsuddin Alimsyah, kepada Aktual.com, belum lama ini.
Disampaikan Syam, sapaannya, lelang proyek pembangunan itu sengaja dipercepat dengan menabrak siklus perencanaan dan pembahasan anggaran yang seharusnya melalui persetujuan DPRD. Kebijakan Ahok secara sengaja juga mengebiri kewenangan DPRD sebagai lembaga yang pembentukannya juga diatur dalam konstitusi.
Dalam hal ini Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 dan UU 23 tahun 2014 tentang Pemda. Bahwa ada beberapa anggota DPRD yang selama ini korup, ia tidak memungkirinya. Namun bukan berarti hal itu menjadi pembenar untuk mengabaikan kewenangan DPRD.
Disinggung bagaimana kasus kelam di tahun 2015 yang gagal mendapat persetujuan DPRD sehingga terpaksa menggunakan APBD tahun sebelumnya yang ditetapkan dalam bentuk Pergub. Dengan kata lain, Gubernur tidak boleh melakukan transaksi melampaui anggaran yang tidak disetujui DPRD.
“Pertanyaan sekarang, siapa yang menggaransi proyek yang sudah dilelang tersebut benar atau pasti akan disetujui masuk dalam APBD 2017, sementara belum dibahas. Dan kalaupun disetujui, apakah angka yang dilelang tersebut akan sama persis yang disetujui dengan DPRD. Bagaimana bila angkanya terkoreksi?,” urainya.
Kebijakan percepatan lelang, lanjut Syam, sebenarnya bisa diantisipasi seandainya Ahok taat pada siklus anggaran, termasuk tepat jadwal dalam penyerahan rancangan APBD ke DPRD untuk dibahas sehingga penetapan APBD juga bisa lebih cepat.
Artinya eksekusi anggarapun termasuk proses lelang bisa berjalan lebih cepat. Sayangnya, skenario ini selalu meleset di DKI Jakarta. Gubernur Ahok hanya mau cepat implementasi tapi tidak taat kalender dalam penyerahan RAPBD.
Sebagai contoh, merujuk pada UU 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, khususnya Pasal 18 ayat (1) bahwa Pemerintah Daerah harus menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah, sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD selambat-lambatnya pertengahan Juni tahun berjalan.
Akan tetapi, sampai sekarang malah belum diserahkan ke DPRD sehingga tidak ada yang bisa dibahas. Fatalnya, RAPBD perubahan 2016 saja baru disampaikan ke DPRD tanggal 4 Oktober 2016 lalu, sehingga mempengaruhi terhadap jadwal penganggaran di DKI Jakarta. Dan, bukan tidak mungkin APBD DKI akan kembali gagal bila tidak segera diserahkan.
Dalam catatan KOPEL, kebiasaan buruk atas keterlambatan APBDDKI Jakarta terjadi sejak APBD tahun 2013 dan terus terulang sampai sekarang. Misalnya APBD tahun 2013 yang harusnya ditetapkan di bulan November tahun 2012, baru berhasil ditetapkan tanggal 28 Januari 2013.
APBD Tahun 2014 ditetapkan pada tanggal 22 Januari 2014, dan yang paling parah adalah APBD 2015 gagal ditetapkan sehingga harus menggunakan APBD tahun 2014 dengan melalui Peraturan Gubernur (Pergub). Baru APBD tahun 2016 berhasil ditetapkan sesuai dengan jadwal yaitu pada tanggal 23 Desember 2015.
“DPRD juga seolah tak berdaya atau mungkin tidak paham apa yang harus dilakukan bila Pemerintah terlambat menyerahkan dokumen RAPBD kepada DPRD untuk dibahas. Atau juga memang sengaja ikut melakukan pembiaran atas keadaan tersebut,” imbuh Syam.
Buktinya, selama ini publik tidak pernah mendengar baik di media apalagi bersuara resmi membawa ke sidang untuk mempersoalkan keterlambatan penyerahan dokumen tersebut. DPRD seolah mengamini keinginan Gubernur selama ini yang lebih memprioritaskan usulan paripurna penetapan Perda Zonasi dari pada RAPBD 2017 diserahkan.
Ini dibuktikan dengan adanya surat Gubernur yang masuk ke DPRD awal Oktober lalu yang justru meminta paripurna penetapan Raperda Zonasi, bukannya APBD yang lebih prioritas dibahas.
Laporan: Soemitro
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby