Ketua DPD terpilih Oesman Sapta Odang (kedua kiri) bersama Wakil Ketua I Nono Sampono (kiri) dan Wakil Ketua II Darmayanti (ketiga kiri) diambil sumpah jabatan oleh Wakil Ketua MA Bidang Yudisial M. Syarifuddin (kanan) saat pelantikan Ketua DPD pada Rapat Paripurna DPD di kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (4/4). Oesman Sapta menjadi Ketua DPD menggantikan Mohammad Saleh. AKTUAL/Tino Oktaviano
Wakil Ketua MA Bidang Yudisial M. Syarifuddin (kedua kanan) foto bersama Ketua DPD terpilih Oesman Sapta Odang (kedua kiri), Wakil Ketua I Nono Sampono (kiri) dan Wakil Ketua II Darmayanti (kanan) usai mengambil sumpah jabatan saat pelantikan Ketua DPD pada Rapat Paripurna DPD di kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (4/4). Oesman Sapta menjadi Ketua DPD menggantikan Mohammad Saleh. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Anggota DPD asal Sulawesi Tengah, Nurwamati Dewi Bantilan, menyayangkan kebijakan Kepala Biro Pimpinan (Karopim) DPD yang mengambil tindakan meminta fasilitas yang dipakai pimpinan DPD. Seperti kendaraan dinas yang selama ini dipakai oleh GKR Hemas.

Kepada wartawan Kamis (13/4) kemarin, Nurmawati membantah pemberitaan yang menyebutkan bahwa GKR Hemas menyerahkan kendaraan dinas itu sebagai bentuk pengakuan atas pimpinan DPD saat ini.

“Saya sudah telepon Bu Hemas bahwa kendaraan itu memang diminta oleh Sekjen. Tetapi Bu Hemas tidak mengembalikan atau mempertahankan. Toh dia juga sehari-hari tidak memakai kendaraan itu. Mobil itu hanya dipakai untuk ke Istana setiap tujuh belas Agustus,” katanya.

“Bu Hemas dan Pak Farouk itu bukan orang yang mau mempertahankan jabatan ya. Mereka orang yang taat hukum. Jadi tetap menganggap pimpinan DPD sekarang itu ilegal,” sambungnya.

Nurmawati merasa resah dengan banyaknya anggota partai politik ke dalam tubuh DPD. Masuknya anggota partai politik di DPR menurutnya bukan saja telah meresahkan sebagian anggota DPD yang bertugas di Senayan, tetapi juga konstituen mereka di daerah.

Masyarakat di beberapa provinsi yang ingin aspirasinya diwakili oleh anggota DPD mulai menunjukkan kemarahan atas apa yang terjadi di DPD akhir-akhir ini.

“Masyarakat di daerah pemilihan saya mulai protes dan mereka minta agar DPD dibubarkan kalau diisi orang-orang partai. Selama ini mereka kan merasa terwakili oleh anggota DPD karena DPD tidak mewakili partai,” kata dia.

“Kalau orang Partai Politik yang masuk akan memperjuangkan partainya, bukan daerah. Kan untuk partai politik sudah ada DPR. Untuk apa ada DPD kalau begitu. Saya setuju DPD dibubarkan saja karena hanya membuang-buang anggaran negara,” tambah Nurmawati.

Ia berharap DPD menghormati hukum di Indonesia. Yakni dengan menempatkan hukum di atas politik. Bukan sebaliknya, menempatkan politik di atas hukum. Terpilihnya Oesman Sapta Odang dinilai tidak berdasarkan hukum karena berlangsung usai Sidang Paripurna ditutup GKR Hemas dan Farouk Muhammad yang memimpin sidang

Kedua, ketika sidang pemilihan Oesman Sapta Odang, Nono Sampurno dan Damayanti Lubis jumlah anggota tidak cukup (tidak quorum) karena sebagian anggota sudah meninggalkan ruang sidang.

Selain itu, pemilihan berlangsung setelah Mahkamah Agung memerintahkan DPD kembali ke Tatib No.1 tahun 2014 yang menyebutkan jabatan Pimpinan DPD berlangsung selama lima tahun.

“Kalau berlangsung pemilihan Pimpinan DPD yang baru itu dasarnya apa? Kok hukum tidak dihormati? Kan MA sudah memerintahkan agar kembali ke Tatib yang lama. Masa menggunakan Tatib baru. Membuat tatib itu kan harus melalui alat kelengkapan, harus ada Pansus, tidak bisa begitu saja,” ucapnya.

Meski mengaku bukan pendukung GKR Hemas, Nurmawati menegaskan tetap menganggap GKR Hemas dan Farouk Muhammad sebagai Pimpinan DPD. Itulah sebabnya pada tanggal 11 April lalu menyerahkan laporan hasil kerja selama reses ke GKR Hemas dan Farouk Muhammad, bersama beberapa anggota DPD lainnya.

“Yang sekarang itu, Pak OSO, ilegal. Makanya kami meminta kepada Mahkamah Agung agar membatalkan penuntunan pengucapan sumpah terhadap Pak OSO dan yang lainnya pada tanggal 4 April lalu,” jelasnya.

Nurmawati yakin Putusan MA yang memerintahkan agar DPD kembali ke Tatib lama sudah dipertimbangkan dengan matang. Kedatangan Wakil Ketua MA Non Yudisial Suwardi untuk menuntun pengambilan sumpah tanggal 4 April 2017 karena mendapat masukan yang salah dari Sekjen dan anggota DPD yang menemuinya.

“Waktu itu kan Yang Mulia Ketua MA dan dua hakim yang membuat putusan mengembalikan ke Tatib lama sedang umroh. Kami yakin putusan itu sudah dipertimbangkan dengan sangat matang. Makanya kami menunggu sikap MA atas surat yang kami kirimkan,” tuturnya.

Terakhir, Nurmawati meminta kepada pemerintah, khususnya Presiden, agar melihat persoalan di DPD dengan hati yang jernih, tidak bolehmembiarkan persoalan di DPD berlarut-larut. Bukan melakukan pembiaran.

“Pemerintah seharusnya tidak menerima pimpinan DPD yang ilegal. Tetapi waktu pelantikan Hakim MK dan Bawaslu, pimpinan DPD yang ilegal diundang. BPK juga menyerahkan laporan. Harusnya BPK jangan datang dulu,” pungkas Nukmawati.

Artikel ini ditulis oleh: