Sejumlah santri menyimak pembacaan kitab kuning (kitab klasik berbahasa arab gundul) di komplek pondok pesantren (ponpes) Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur, Jumat (10/6). Pada bulan Ramadan ratusan santri memanfaatkan waktu istirahat meraka guna menyimak kitab kuning yang dibacakan oleh pengasuh ponpes hingga meluber di pinggir jalan. ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/foc/16.

Jakarta, Aktual.com – Tim Pengabdian Masyarakat 2016 Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang menilai Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tidak peka dalam membaca peraturan atas rencana pembuatan Peraturan Daerah tentang Pesantren di Banten.

“Saya kecewa, pihak Kemendari tidak menilai semangatnya untuk memberdayakan pesantren. Saya rasa mereka terjebak dengan istilah pengaturan, padahal dalam rencana peraturan daerah ditulis pemberdayaan,” terang Nurullah, Ketua Tim Pengabdian Masyarakat STISNU dari laman NU Online, Minggu (11/12)

Nurullah menyesalkan dan kecewa dengan jawaban Kemendari melalui surat Nomor 188.34/8829/OTDA yang ditujukan Sdr Plt Gubernur Banten. Dimana dalam surat itu ditegaskan bahwa kewenangan pengaturan pesantren adalah hak pemerintah pusat bukan pemerintah daerah.

Anggota Tim Pengabdian Muhamad Qustulani menambahkan, pemerintah telah keliru dalam memahami pesantren sebagai institusi agama. Padahal pesantren adalah bagian dari lembaga pendidikan.

“Mereka selalu beralasan dengan UU 23 Tahun 2014 yang menyatakan agama domain pemerintahan pusat,” katanya.

Penegasan Kemendagri itu bertentangan UU Nomor 22 Tahun 1989 yang disempurnakan dengan Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 30 ayat 1 sampai 4 memuat bahwa pondok pesantren termasuk pendidikan keagamaan dan merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional.

“Jelas pesantren bukanlah institusi agama, bukan agama, tidak mengatur agama, akan tetapi pesantren adalah lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu agama,” tegas Qustulani.

Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 13 Tahun 2014, lanjut dia, mengatur Pesantren dengan sistem muadalah dan alumninya sejajar dengan lembaga pendidikan lain. Namun PMA 13 itu hanya mengatur pesantren-pesantren yang jumlah santrinya mencapai 300 orang.

“Pertanyaannya? Bagaimana dengan pesantren di Kabupaten Tangerang atau Banten yang jumlahnya hanya puluhan? Bangunannya kumuh (balerombeng)? MCK-nya sungguh amat memprihatinkan, bahkan santri banyak MCK di kali? Jelas, PMA 1 tidak menjangkau pesantren yang seperti itu,” urai Qustulani.

“Saya berharap Kemendagri baca Perdanya dengan utuh. Perda tersebut tidak mengatur keberadaan pesantren, tapi menjadi payung hukum pemerintah daerah untuk memberdayakan pesantren,” sambungnya.

Pemberdayaan itu misalnya dengan memberikan pembinaan dibidang kegiatan ekonomis, berternak, wirausaha, Balai Latihan Kerja serta CSR perusahaan untuk pemberdayaan pesantren.

Fahmi Irfani, Tim Pengabdian STISNU berharap kemendagri menindaklanjuti dan merekomendasikan peraturan daerah tentang pemberdayaan pesantren. Pihaknya akan mengawal sampai lahirnya peraturan daerah pemberdayaan pesantren, termasuk penerapannya di pemerintah daerah.

“Andai harus diperbaiki, maka akan kami dorong Perda tersebut untuk diperbaiki. Ini demi masa depan generasi pesantren selanjutnya,” kata dia. (Soemitro)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Andy Abdul Hamid