Istilah “dirty cops” sering kita saksikan dalam film-film Hollywood, begitu juga film India, dimana polisi digambarkan berkongsi dengan kekuatan jahat.

Di Indonesia, nyaris tidak ada film yang memotret sosok dirty cops tadi. Mungkin tidak berani atau aparat disini belum seberani mereka diluar negeri untuk dikritik dalam karya seni.

Padahal isu soal dirty cops di jajaran kepolisian kita bukan barang baru. Bahkan beberapa tahun belakangan polisi begitu mendominasi jabatan-jabatan institusi negara, sebut saja BIN, BNN, KPK, yang semuanya dipimpin perwira polisi. Tidak jarang muncul anekdot kepanjangan NKRI sebagai Negara Kepolisian Republik Indonesia. Begitu powerfulnya polisi hingga banyak pihak berpikir dua kali berurusan dengannya. Setting politik negeri ini memang seperti itu, suka atau tidak suka.

Kekuasaan yang begitu besar dimanapun melahirkan peluang penyimpangan yang besar pula. Beberapa tahun lalu ramai isu rekening gendut perwira polisi yang hingga kini tidak jelas penuntasannya. Petinggi lembaga tersebut terkenal hidup dalam gelimang kemewahan, nyaris merata. Hingga Almarhum Gus Dur sempat berseloroh bahwa polisi jujur hanya tiga; Almarhum Jenderal Hoegeng, patung polisi dan polisi tidur… Hehe

Sebagai satu dari tiga pilar penegakan hukum, dimana kepolisian adalah pintu masuk penyelidikan dan penyidikan perkara, pemberantasan mafia hukum harus dimulai dari kepolisian. Rekayasa kasus yang dilakukan dalam pembunuhan Brigadir J menunjukkan bahwa hukum bisa ditekuk dan dibentuk semau penegak hukum. Untunglah Kapolri dan pimpinan negara lainnya kompak menuntaskan kasus tanpa pandang bulu. Brigjen FS dianggap sosok yang mewakili dirty cops tadi, dengan menguasai bisnis pelanggaran hukum hingga bergelimang harta. Belum lagi isu peranannya dan kelompoknya dalam rekayasa kasus KM 50.

Sebagai rakyat kita berharap momentum ini dijadikan titik tolak pembersihan kepolisian dan mengembalikannya pada jalur sesuai khitahnya. Hati-hati dengan shampoo, ia licin sehingga bisa terpeleset..

Yuk tengok firman Allah ini yang terpampang di dinding pintu masuk Fakultas Hukum Harvard University..

{ ۞ یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّ ٰ⁠مِینَ بِٱلۡقِسۡطِ شُهَدَاۤءَ لِلَّهِ وَلَوۡ عَلَىٰۤ أَنفُسِكُمۡ أَوِ ٱلۡوَ ٰ⁠لِدَیۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِینَۚ إِن یَكُنۡ غَنِیًّا أَوۡ فَقِیرࣰا فَٱللَّهُ أَوۡلَىٰ بِهِمَاۖ فَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلۡهَوَىٰۤ أَن تَعۡدِلُوا۟ۚ وَإِن تَلۡوُۥۤا۟ أَوۡ تُعۡرِضُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِیرࣰا }

Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.
[Surat An-Nisa’: 135]

Jamaluddin F Hasyim

Ketua KODI DKI Jakarta, Khodim Pesantren, Pengamat NU

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: As'ad Syamsul Abidin