Terlihat seorang anggota Gegana saat melakukan penjinakan bom dalam simulasi penanganan terorisme di Jakarta, Kamis (26/5/2016). Simulasi tersebut digelar dalam rangka kunjungan Delegasi ASEAN Senior Official Meeting On Transnational Crime (OMTC).

Jakarta, Aktual.com – Pengamat kepolisian dan pakar hukum pidana, Ferdinand Montororing menyebut lambannya pembahasan revisi UU Anti Terorisme ikut berpengaruh terhadap kinerja kepolisian dalam memberantas aksi terorisme.

Peristiwa bom bunuh diri di Mapolresta Surakarta, Solo, Jawa Tengah sehari sebelum Lebaran lalu, mestinya jadi perhatian serius DPR RI menuntaskan pembahasan UU Anti Teroris.

“Saya sangat berharap, semoga para anggota DPR itu tidak terlena setelah bangsa ini dicabik-cabik oleh paham-paham radikal yang mengatasnamakan agama,” tutur Ferdinand saat diskusi soal dampan terorisme terhadap perekomonian di Jakarta, Sabtu (9/7).

Menurut Ferdinand, selama ini Polri memang mendapat mandat penuh oleh UU Anti Terorisme, namun dalam pelaksanaannya tugasnya justru ‘kakinya’ terikat UU tersebut.

Salah satunya, Polri tidak mampu mengambil tindakan yang beraifat pre emtive untuk mencegah gerakan terorisme. Pasalnya, dalam sistem hukum pidana yang dianut Indonesia, secara teoritik untuk menyeret seseorang ke pengadilan harus harus ada perbuatan dulu (actus reus).

“Baru setekah itu tindakan penegakan hukum dapat dilakukan. Sementara pemikiran radikal tidak bisa dikategorikan sebagai actus reus. Apalagi memang dalam pemberantasan terorisme, Polri kerap disorot isu-isu HAM,” cetus dia.

Selama ini, kata dia, pendekatan pemberantasan oleh aparat kepolisian lebih menekankan sistem primat law enforcement. Dalam arti, tindakan polisionalnya harus terukur demi penghormatan pada hak azasi manusia (HAM).

“Namun sayangnya dalam konteks ini, dampaknya dari sisi primat national defence menjadi terjerat, karena tak mampu mengambil tindakan yang bersifat security approach,” cetus Ferdinand.

Untuk itu, dia mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar mengambil langkah politik. Termasuk politik luar negeri untuk kembali mengumandangkan Deklarasi Jakarta di Konferensi Organisasi dunia negara-negara Islam (OKI) dan bersama PBB untuk membasmi gerakan ISIS.

“Dan bagi DPR, saya harap agar melakukan perubahan mendasar atas UU Anti Terorisme dengan menggunakan pendekatan primat national defence, tapi tetap menghormati HAM,” pungkas dia. (Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh: