Sejumlah pengendara motor antre mengisi BBM jenis Pertalite di salah satu SPBU, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (9/8/2022). ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/foc. (ARIF FIRMANSYAH/ARIF FIRMANSYAH)

Jakarta, Aktual.com – Badan Anggaran (Banggar) DPR menyebut seharusnya pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi dua kali dalam tahun ini. Hal tersebut untuk mengurangi beban APBN.

“Apa pemerintah mau sekali atau sekaligus, monggo. Mana yang terbaik,” kata Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah, dikutip dari RRI, Kamis (18/8).

Namun, lanjut dia, kenaikan harga BBM bersubsidi itu harus dibarengi dengan jaminan perlindungan sosial masyarakat bawah.

“Jangan dilupakan, begitu dinaikkan umumkan pada saat yang sama penebalan perlindungan sosial untuk masyarakat bawah, harus beringan,” ujarnya.

Menurutnya, kebijakan menaikkan harga itu agar subsidi BBM sebesar Rp503 triliun tidak terbuang percuma.

“Memang layak sampai Rp503 triliun dalam kondisi pemulihan ekonomi seperti ini? Terlalu besar. Kemudian uang dibuang cuma-cuma,” kata dia.

Said juga meminta pemerintah untuk menaikkan barang-barang terhadap subsidi. “Karena lama-lama pada puncak tertentu fiskal kita enggak akan mampu. Sekarang sudah Rp503 triliun,” ujarnya.

Menurut Said, tahun 2022 ini, APBN Indonesia menghadapi beban berat untuk subsidi energi akibat naiknya harga minyak dunia. Pemerintah menambahkan alokasi subsidi energi sebesar Rp74,9 triliun dari plafon awal sebesar Rp134 triliun, dengan rincian Rp77,5 triliun LPG dan BBM serta listrik Rp56,5 triliun,

Selain itu ada tambahan alokasi pembayaran kompensasi BBM dan Listrik Rp275 triliun dari semula Rp18,5 triliun. “Tambahan kompensasi itu diperuntukkan kompensasi BBM sebesar Rp234 triliun serta kompensasi listrik sebesar Rp41 triliun,” ucapnya.

Di samping itu, pemerintah harus melunasi biaya kompensasi energi tertanggung tahun 2021 lalu sebesar Rp108,4 triliun. Menurutnya, rincian sebesar Rp83,8 triliun untuk BBM dan Rp24,6 triliun untuk listrik.

Selain persoalan harga minyak bumi tahun depan yang diperkirakan tetap tinggi, potensial beban subsidi akan bertambah. Hal itu jika melihat tren konsumsi BBM dan listrik yang akan naik seiring dengan terus membaiknya keadaan ekonomi domestik.

Gap harga yang cukup senjang antara Pertalite dan Pertamax juga berpotensi membuat konsumsi Pertalite akan lebih besar, sehingga kebutuhan konsumsi BBM bersubsidi tersebut semakin meningkat.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Warto'i