DPR Tidak Bacakan Surat Pemakzulan Gibran, Masuk Angin atau Punya Strategi Lain?

aktual.com – Beragam dugaan dan respon muncul setelah DPR tidak membacakan surat dari Forum Purnawiran dan Prajurit TNI (FPPTNI) pada rapat paripurna DPR pada Selasa 24 Juni 2025 lalu.

Sejumlah respon itu antara lain, kelompok yang merespon hati-hati dan tidak terburu-buru menilai DPR, ada yang menduga DPR sedang melakukan strategi politik tertentu, bahkan ada juga yang menduga DPR sudah masuk angin.

Lalu seperti apa sebenarnya yang terjadi saat ini di DPR? Mengapa surat dari FPP TNI belum juga disampikan ke pimpinan DPR padahal surat itu sudah lama diterima pihak sekjen?

Kelompok pengusul pemakzulan Forum Purnawiran Prajurit TNI (FPPTNI) belum memberikan respon resmi setelah DPR RI tidak membacakan surat tuntutan mereka agar lembaga ini memproses pemakzulan Gibran Rakabuming.

Mereka sepertinya bersikap hati-hati dan tidak ingin terburu-buru memberikan respon terhadap langkah DPR.

“Untuk saat ini kami tidak mau terburu-buru menyimpulkan,” kata Sekretaris FPP TNI Bimo Satrio seperti dikutip Sindonews, pada Selasa 24 Juni 2025.

Bimo meminta, agar publik tidak memberikan waktu kepada FPP TNI untuk merespon dan membahas kenyataan yang terjadi di DPR.

“Mohon FPPTNI diberi waktu untuk merespon hal ini,” ujar Bimo.

Pengamat politik Ray Rangkuti menduga keras, bahwa DPR dan partai politik tengah melakukan strategi politik sandera. Isu pemakzulan Gibran akan disimpan sebagai “senjata” yang bisa digunakan sewaktu-waktu oleh partai politik dan dijadikan sebagai tekanan.

“Kelihatannya gelagatnya partai politik ini mau menjadikan kasus ini sebagai simpanan. Yang boleh jadi kapan waktu akan dikeluarkan,” ungkap Rak Rangkuti dalam Podcast Visi Utama, Kamis 19 Juni 2025. .

Menurut Ray, hal ini jadi semacam politik sandera, seperti yang sering dilakukan Jokowi kepada lawan politiknya. Para anggota parlemen dan partai politik akan banyak menggunakan sebagai senjata simpanan.

Menurutnya, asumsi politiknya itu tidak lepas dari dua hal. Pertama, sikap Presiden Prabowo Subianto yang tenang-tenang saja. Serta seakan membiarkan proses itu bejalan. Ia tidak menerima upaya itu, tapi tidak juga menolak secara tegas.

Hal kedua, kata Ray, proses pemakzulan ini tidak bisa dilakukan dengan cepat. Dan jika pun hanya dibacakan, tuntutan itu belum tentu ditindaklanjuti parlemen.

“Sehingga kasus ini tidak bisa selesai dalam satu tahun. Mungkin akan diselesaikan oleh DPR dalam tiga tahun ke depan,” ujar Ray.

Reaksi keras terhadap langkah DPR datang dari jurnalis senior dan pengamat militer Slamet Ginting. Ia menduga bahwa DPR sudah masuk angin, lantaran tidak membacakan surat pemakzulan Gibran pada rapat paripurna DPR RI pasa Selasa 24 Juni 2025 dan tidak ada interupsi dari DPR yang menanyakan soal surat pemakzulan tersebut.

“DPR ini benar-benar masuk angin. DPR anti klimaks. Jangan kemudian tenang-tenang saja. Jangan sampai ada tuntutan seperti zaman Soekarno, rakyat meminta bubarkan DPR. Itu juga terjadi karena rakyat tidak percaya kepada DPR . Tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah.,” papar Ginting dalam podcast channel YouTube Forum Keadilan TV, Kamis 26 Juni 2025.

Menurutnya, pembubaran DPR terjadi dimana hasil pemilu 1997 dibubarkan lalu dibuat pemilu ulang. Gerindra sebagai partainya Prabowo, seharusnya tidak usah ragu dengan pemakzulan. Meski mereka pendukung paket Prabowo-Gibran. Karena dalam proses pemakzulan tidak ada sistem paket.

“Presiden bisa dimakzulkan sendiri, wakil presiden juga bisa dimakzulkan sendiri,” tandasnya.

Menurut Ginting, inilah kenyataan yang dihadapi, mengapa tidak ada suara kritis dari anggota DPR. Padahal aspirasi pemakzulan Gibran ini sudah booming dan viral dimana-mana.

Pemakzulan Bisa Jadi Tempat Gibran Membela Diri 

Pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, potensi pemakzulan Wakil Presiden Gibran ini digagalkan oleh DPR sendiri memang ada. Karena konsep pemakzulan sendiri dibuat rumit dan sulit.

“Namun ini adalah upaya untuk membongkar dan menegakkan kebaikan. Bukan siapa yang diuntungkan. Ini bukan kebaikan untuk para purnawirawan, tapi kebaikan bagi wakil presiden. Kalau tidak pernah dibongkar atas nama kebenaran, kasus ini akan selalu menjadi pertanyaan dan misteri,” papar Feri

Proses pemakzulan ini juga bagian dari untuk membela dan membersihkan nama baik Wapres Gibran. Jika proses penyelidikan atas ini tenyata tidak benar.

Menurutnya, secara aturan ketatanegaraan, dibutuhkan setidaknya minimal 25 tanda tangan anggota DPR yang mengusulkan proses pemakzulan Gibran atas desakan para purnawirawan TNI agar dibahas dalam rapat paripurna DPR.

“Jika sudah ada usulan itu dan dibahas di paripurna yang dihadiri oleh minimal 2/3 anggota DPR dan dari 2/3 yang hadir itu, sebanyak 2/3 nya menyetujui usulan tersebut. Lalu, usulan itu dibawa oleh DPR ke Mahkamah Konstitusi. MK dalam undang-undang adalah yang memeriksa, mengadili dan memutuskan apakah usulan pemakzulan itu sudah sesuai dengan UUD 1945 atau tidak ,” kata Feri

Apakah peluang itu ada? Menurut Feri jika melihatnya dari kacamata partai yang oposisi mungkin sulit. Tetapi kalau dilihat dari perspektif lain, misalnya langkah-langkah wakil.presiden tidak disetujui oleh para partai pendukung, karena melakukan langkah sendiri. Para politisi partai di pemerintahan berpeluang pemakzulan akan terbuka.

“Apalagi wakil presiden ini tidak memiliki partai di DPR. Ada partai saudaranya tapi tidak masuk parlemen. Ini mungkin bisa jadi peluang. Partai bisa juga melihat attitude dan kasus fufufafa bisa menjadi faktor penting diterimanya alasan pemakzulan,” ujarnya.

Menurut Feri, jika benar akun Fufufafa itu dilakukan oleh Gibran, maka ini menjadi perbuatan tercela yang mengandung problematika serius.

“Selama ini banyak bukti yang mengarah dan ada logika yang wajar, bahwa ada korelasi yang sulit dihindari antara akun Fufufafa dengan Pak Wakil Presiden punya ikatan di masa lalu. Nah itu yang harus dibuktikan oleh DPR,” paparnya.

Sesuai dengan undang-undang, lanjut Feri, anggota DPR memiliki hak untuk melakukan pengawasan. Jika hak ini tidak digunakan untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintah, berarti mereka melawan undang-undang.

“DPR untuk langkah awal bisa saja panggil wakil presiden, memanggil para purnawirawan karena mereka sudah berkirim surat untuk membongkar akun Fufufafa itu. Minta keterangan Roy Suryo misalnya. Yang punya logika menarik soal akun itu,” tandas Feri.

Menurut Feri, dugaan perbuatan tercela Gibran yang lebih jelas adalah dalam video yang ramai di media sosial. Dalam video itu ia menyinggung soal bagian tubuh wanita. Ini cukup kuat sebagai indikasi perbuatan tercela.

“Selain akun fufufafa yang dipersoalkan, DPR juga bisa mempersoalkan dan menanyakan tentang video tersebut,” pungkasnya. ***

 

 

Artikel ini ditulis oleh:

Jalil