Sejumlah Haul Truck dioperasikan di area tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, Sabtu (19/9). PT Freeport Indonesia kini mendapat izin ekspor untuk Juli 2015 - Januari 2016 dengan kuota ekspor mencapai 775.000 ton konsentrat tembaga. Selain itu Freeport mendapat pengurangan bea keluar menjadi lima persen lantaran kemajuan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) di Gresik, Jawa Timur, yang sudah mencapai 11 persen. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/kye/15

Jakarta, Aktual.com — Pengamat sosial politik Agus Suriadi mendukung pengambilalihan tambang emas Freeport agar dikelola secara nasional.

Menurut Agus, sebagai aset dan kekayaan sumber daya alam Indonesia, Freeport seharusnya dinasionalisasi.

“Seharusnya memang harus di-nasionalisasi-kan,” tandas Agus kepada Aktual.com, di Medan, Kamis (19/11).

Pengambilalihan itu disarankan dilakukan secara bertahap. Hal ini mengingat besarnya kepentingan Amerika Serikat dalam bisnis tambang PT Freeport.

“Tapi harus bertahap karena berkaitan dengan kepentingan AS, dan caranya dengan memperpendek izin kontrak karya freeport,” ujar Agus.

Selain itu, pemerintah RI diimbau belajar dari persoalan Inalum di Asahan, Sumut. Dimana, pengambilalihan baru dilakukan setelah potensi alumunium sudah menipis.

“Jangan sampai potensi emas habis baru kita ambil alih, kasus kontrak karya Inalum kan bisa jadi proses pembelajaran. Kan kontrak karya yang begitu lama, baru di ambil alih pemerintah setelah tak ada apa-apa lagi yang disisakan jepang,” terangnya.

Kisruh terkait Freeport yang menyeret Menteri ESDM Sudirman Said dan Ketua DPR RI Setya Novanto adalah pertarungan kepentingan politik dan bisnis.

“Politik adalah anak kandung bisnis. Maka jangan heran persoalan freeport identik dgn politik karena berkaitan dengan bisnis dan kepentingan. Dan persoalan ini terjadi di hampir semua bangsa di dunia ini,” katanya.

Soal pertarungan ‘antar geng’ yang disebut-sebut oleh Menko Rizal Ramli, Agus tak menampik kisruh itu sebagai pertarungan kepentingan kelompok.

“Itu memang terjadi dan kepentingan kelompok, memang menjadi determinan bagi upaya melanggengkan kekuasaan,” katanya.

Bagi publik, lanjut Agus, kisruh tersebut dinilai sebagai perilaku dari aktor-aktor yang tak punya moral.

“Publik merasa bahwa para aktor tersebut merupakan para pelaku yang moral ‘hazard’ (Kecenderungan orang yang berperilaku di luar norma yang ada),” tandasnya.

Artikel ini ditulis oleh: