Jakarta, Aktual.com – Saudaraku, ”Berangkatlah, niscaya engkau akan mendapatkan ganti untuk semua yang engkau tinggalkan. Bersusah payahlah, sebab kenikmatan hidup direngkuh dalam kerja keras. Ketika air mengalir, ia akan menjadi jernih, dan ketika berhenti ia akan menjadi keruh. Sebagaimana anak panah, jika tak meninggalkan busurnya tak akan mengenai sasaran. Biji emas yang belum diolah sama dengan debu di tempatnya. Maka ketika orang berangkat dan bekerja, dia akan mulia seperti bernilainya emas.” Demikian Imam Syafi’i memberi petitih.
Etos adalah karakter dan sikap dasar manusia terhadap diri dan dunianya. Ia merupakan aspek evaluatif yang memberi penilaian atas berharga tidaknya sesuatu. Sejauh dihubungkan dengan persoalan ”kerja”, ia memberikan landasan motivasi dan arti apakah kerja itu dilihat sebagai beban, sekadar menyambung hidup atau bermakna secara eksistensial sebagai imperatif kemanusian dan jangkar jatidiri.
Karena persoalan etos kerja erat kaitannya dengan situasi kerohanian, tentu menimbulkan pertanyaan besar, apa yang terjadi dengan jiwa keagamaan kita. Bagaimana mungkin dalam suatu masyarakat yang dilukiskan bercorak religius, produktivitas rendah, etika sosial lembek, sedang korupsi merajalela. Tidakkah hal ini berati bahwa semarak kehidupan keagamaan, seperti tercermin dalam pertumbuhan rumah ibadah dan jemaah haji, hanyalah kesalehan formal yang tidak mengarah pada amal saleh dan kesalehan sosial.
Karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, maka kaum Muslim paling bertanggung jawab untuk melakukan koreksi atas distorsi pemahaman dan praktik kegamaan.
Tidak seperti salah-sangka Max Weber, yang mengatakan bahwa ajaran Islam yang anti-akal tidak memiliki persyaratan rohaniah bagi produktivitas dan kemajuan ekonomi, ajaran moral Al-Qur’an sesungguhnya memancarkan etos kerja yang positif. Tak kurang dari 50 kali Qur’an memuat kata kerja aqala, yang berarti akal-pikiran. Secara tegas pula disebutkan bahwa ”tiadalah sesuatu bagi manusia, melainkan sesuai dengan apa yang dikerjakannya” (QS 52: 36-42). ”Setiap orang bekerja sesuai dengan bakatnya” (QS 17: 84). ”Dan jika engkau berwaktu luang, maka bekerjalah” (QS 94: 7).
Karena perintah Islam untuk aktif bekerja inilah maka Robert Bellah berani mengatakan, bahwa etos yang dominan pada komunitas Islam ideal adalah giat di dunia ini sebagai aktivis yang bersifat sosial dan politik, yang relatif dekat dengan etos yang dominan pada kehidupan modern.”
Hubungan positif antara dorongan rohaniah keagamaan dengan kegiatan perekonomian juga bisa dilihat jejaknya dalam Islam klasik di Nusantara. Islam masuk ke kepulauan ini melalui jalur perdagangan; juga terdapat kesesuaian antara kedalaman penghayatan keagamaan dengan kegairahan aktivitas perekonomian seperti dijumpai pada suku bangsa Minangkabau, Banjar dan Aceh; Begitu pun di Jawa, orang-orang kauman yang menumbuhkan industri batik, keretek dan perak, menjalankan kegiatan keagamaan dan perekonomian secara simultan; juga perlu disebutkan bahwa Sarekat Islam sebagai gerakan massa pertama di Indonesia lahir dari rahim saudagar-saudagar Islam.
Memang benar, lemahnya etos kerja, sebagai cerminan suasana rohaniah keagamaan, tidaklah berdiri sendiri. Ia saling bertautan dengan persoalan dukungan struktural. Clifford Geertz telah lama mengindikasikan, bahwa sekalipun etos ”kapitalisme”, seperti tercemin dalam sikap tekun, hemat dan berperhitungan, juga dimiliki oleh kaum santri, kekuatan ekonomi santri sulit menjadi besar karena tidak didukung oleh kemampuan organisasi yang baik. Kelemahan organisasi dan ketiadaan apa yang disebut ”corporateness”, solidaritas kekaryaan, dalam kaum santri secara umum juga dilihat oleh James Siegel di Aceh.
Pada ujungnya, kelemahan-kelemahan ini disebabkan oleh faktor birokrasi pemerintahan yang bersifat eksploitatif, yang melemahkan daya-daya korporasi masyarakat ekonomi menengah-kecil. Wertheim mengatakan bahwa kebijakan pemerintah, bukan saja memberi contoh terhadap kehidupan ekonomi, tetapi juga menentukan tingkat kemajuan ekonomi. Dan kebijakan pemerintah yang buruk, bukan saja menghambat kemajuan, tapi juga melumpuhkan bibit-bibit kewirausahaan dan etos kerja yang telah tumbuh dalam masyarakat.
Semoga gairah keagamaan dalam komitmen pelayanan publik, bisa diarahkan untuk memperkuat etos kerja, kekuatan kerjasama, dan pengayoman negara demi kemajuan bangsa.
Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual