Jakarta, Aktual.com — Pemerintah diminta agar tidak memperpanjang Kontrak Karya PT Freeport Indonesia yang akan berakhir pada 2021 mendatang. Pasalnya, selama ini Freeport telah menutupi banyak kasus yang terjadi di tanah Papua.

“Jadi, meneruskan Kontrak Karya Freeport sama saja membuat kegaduhan untuk 20 tahun akan datang,” kata Masyarakat Papua Arkilaus Baho melalui keterangan tertulisnya, Selasa (15/12).

Seperti halnya, ujar dia, pada tahun 1967 saat masa-masa sosialisasi PT Freeport, perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu bisa berbuat apa saja di areal penambangan emas dan tembaga.

“Usai meresmikan Freeport, Soeharto (Presiden RI saat itu) mengubah nama Irian Barat menjadi Irian Jaya. Tak lama kemudian, isu Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) mengudara dan dijadikan alat propaganda untuk menghantam siapa saja yang ganggu Freeport,” kata dia.

Kemudian, lanjut dia, pada tahun 1995 ketika menjelang negosiasi KK II, penelitian terselubung yang dibiayai Inggris dan Australia untuk menemukan titik simpul gerakan Papua di seputar Freeport.

“Kamuflasenya tim ekspedisi Lorenz. Muncul Operasi Pembebasan Sandera Mapenduma. Operasi militer untuk membebaskan peneliti dari Ekspedisi Lorentz. Freeport aman saja karena masyarakat Papua terlanjur distigmakan sebagai GPK,” ujar dia.

Ketika tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid aatu Gus Dur ingin mengevaluasi Kontrak Karya, dan kemudian menimbulkan kegaduhan yang berujung pada lengsernya sang Presiden. Sedangkan pada tahun 2006, perlawanan Freeport merebak di seantero Indonesia. Namun dialihkan dengan suaka politik warga Papua ke Australia

“Pada tahun 2009, di saat buruh Freeport bergolak, dialihkan dengan pembubaran paksa yang berakhir dengan kerusuhan berdarah paska deklrasi negara federal di lapangan Zakeus Jayapura,” kata Arkilaus.

Rekayasa yang selanjutnya dilancarkan Freeport, kata dia, adalah munculnya ancaman freedom Frotilla dari Australia saat Freeport didesak untuk mematuhi UU Minerba.

“Sekarang, Freeport wajib penuhi syarat sebelum 2019, malah direkayasa dengan kegaduhan ‘Papa Minta Saham’,” kata dia.

Dia menambahkan, Freeport selalu berlindung di Papua dengan pengalihan isu. Mulai dari separatis, GPK, GSP, OTK, perang suku. “Di Indonesia Freeport berlindung dengan stigma, beri kontribusi, lapangan pekerjaan, politis mudah dibeli dan jenderal pebinis keamanan di Papua,” kata dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu