Jakarta, Aktual.com – Indonesia masih mengandalkan industri ekstraktif sebagai tumpuan ekonomi nasional. Dengan perkembangan industri hilir yang berjalan lambat, praktis sumberdaya alam yang dieksploitasi dari bumi Indonesia, diekspor dalam bentuk komoditas mentah.

Berkaitan dengan defisit transaksi berjalan nasional hingga menyebabkan mata uang rupiah melemah di angka RP 15 ribu per dolar Amerika Serikat (AS), pemerintah Indonesia berupaya menggenjot sektor ekspor. Tentu saja dalam hal ini kekayaan alam ekstraktif menjadi sasaran, termasuk di dalamnya terdapat komoditas batubara.

Kepanikan pemerintah menghadapi pelemahan nilai tukar rupiah, direspon dengan rencana pencabutan ketentuan Domestic Market Obligation (DMO) batubara agar dapat melakukan ekspor sebanyak-banyaknya dari hasil produksi, namun hal ini mengakibatkan ketidakpastian bagi PLN dan mengancam keuangan perusahaan itu lantaran sebagian besar pembangkit menggunakan energi primer dari batubara. Selain memang pencabutan DMO batubara akan bertentangan dengan Undang-Undang No 4 Tahun 2009.

Baca: Panik Defisit Transaksi Berjalan, Pemerintah Ingin Cabut DMO Batubara

Oleh karenanya rencana pencabutan DMO batubara oleh pemerintah menuai penolakan dari berbagai lapisan masyarakat, alhasil wacana itu dibatalkan oleh pemerintah. Tetapi, tampaknya permasalahan anjloknya nilai tukar rupiah yang dihadapi oleh pemerintah, menjadi peluang lobi oleh pengusaha batubara  untuk mendapat untung melalui ekspor, apalagi harga batubara di pasar global sedang membaik. Tak habis cara, akhirnya pemerintah menambah rencana produksi tahun 2018 sebanyak 100 juta ton.

Baca: Lobi Taipan Ditengah Kepanikan Pemerintah

Penambahan Kuota Produksi
Sebagaimana yang telah dikatakan, dari 100 juta ton itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memberi persetujuan tambahan kuota produksi batubara sebanyak 21,9 juta ton kepada 32 perusahaan. Tambahan kuota tersebut nantinya langsung bisa diekspor tanpa dikenakan lagi oleh kewajiban DMO.

Baca:Tari Ulur Kebijakan DMO Batubara, Siapa Berkepentingan?

Untuk diketahui, sebenarnya ada 40 perusahaan yang mengajukan tambahan kuota produksi, setelah pemerintah melakukan evaluasi, hanya sebanyak 18 perusahaan dianggap tidak layak mendapat tambahan kuota produksi batubara.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia meminta pemakluman atas penambahan kuota produksi ini, menurutnya dengan penambahan kuota tersebut dapat membantu penguatan ekonomi nasional.

Hanya saja dengan produksi yang berlebihan,  dia khawatir komoditas batubara akan membanjiri pasar global yang berimbas pada kejatuhan harga. “Kami belum tahu persisnya. Tapi tentu tambahan suplai bisa berpotensi menekan harga yang mana indeks harga jual batubara kita menunjukkan penurunan” katanya.

Selanjutnya…
Ancaman Krisis Energi

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta