Jakarta, Aktual.com – Secara geologis dan geografis Indonesia dikelilingi oleh “Cincin Api” atau Ring of Fire dari ujung pulau Sumatra hingga kepulauan Maluku Utara. Tak pelak, masyarakat di sejumlah daerah kerap bersinggungan dan mengalami bencana gempa tektonik, erupsi gunung api, longsor hingga angin puting beliung.
Memasuki tahun politik 2018-2019, Ibu kota dihantui bayang-bayang goncangan gempa bumi berkekuatan 8,7 skala richter (SR). Sebagai pusat bisnis dan pemerintahan, Gempa yang melanda Jakarta akan berdampak signifikan kepada kebijakan nasional.
Ditinjau dari geologi, Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng besar yakni Eurasia, India-Australia, dan lempeng Pasifik. Pergeseran lempeng ini menyebabkan saling bertumbukan (megathrust) hingga material mantel meleleh dan naik ke permukaan menjadi cincin api atau Ring of Fire di sepanjang pulau Sumatra, Jawa dan sebagian Indonesia Tengah.
Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), dalam satu tahun terjadi setidaknya 6.000 kali gempa bumi. Namun banyak masyarakat yang tidak merasakan gempa tersebut.
“Ada 6.000 kali gempa dalam setahun tapi kita tidak merasakannya. Karena gempa-gempa tersebut tergolong kecil, kurang dari 5 SR,” kata Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati di Jakarta.
Gempa dengan kekuatan sekitar 5 SR terjadi sekitar 350 kali. Namun yang bisa kita rasakan hanya sekitar 3, 4, atau 5 kali. Namun dirinya tidak menampik jika gempa megathrust berpotensi melanda Jakarta dan sekitarnya.
“Potensi gempa yang lebih besar bisa saja terjadi. seperti halnya Tasikmalaya, Lebak, Aceh dan Yogyakarta. Namun pusat tetap di Samudera Hindia, seperti halnya gempa Yogyakarta pusatnya di pantai atau Samudera Hindia,” tegasnya.
Dalam pertemuan tahunan Masyarakat Geologi Amerika Roger Bilham dari University of Colorado, Boulder, dan Rebecca Bendick dari University of Montana, Missoula menyampaikan hasil studi mereka terkait gempa besar yang akan melanda Indonesia.
Bendick bersama Bilham menegaskan bahwa laporannya memberi probabilitas, bukan ramalan, tentang gempa. Hasil statistik mengungkapkan gempa dengan kekuatan skala 7,0 atau lebih akan berulang dalam kurun waktu antara 20 sampai 70 tahun. Kejadian berulang lebih sering terjadi bersamaan daripada acak. Pola ini signifikan secara statistik.
Seperti halnya ahli geofisika dari Rusia, Boris Levin dan Elena Sasorova; Bilham dan Bendick menjelaskan saat rotasi bumi berubah, bentuknya turut bergeser seperti rok penari. Ketika rotasi bumi melambat, yakni setiap 30 tahun sekali, mayoritas massa bergerak ke arah kutub. Sebaliknya, ketika bumi berputar lebih cepat, mayoritas massa bergerak ke khatulistiwa. Perubahan ini memang hanya sekitar satu milimeter, tetapi energi potensial yang terkumpul pada patahan bumi dapat menimbulkan gempa bumi dahsyat. Menurutnya, bumi sampai di penghujung periode perlambatannya; dan statistik mereka menunjukkan bahwa hal ini berarti gugusan gempa sedang mendekat.
“Studi ini tentang probabilitas, bukan prediksi, perlambatan rotasi bumi bukan berarti gempa pasti akan terjadi pada tahun depan, tetapi kemungkinan terjadinya gempa akan meningkat,” jelasnya.
Selanjutnya, Gempa Megathrust Ancam Ibu Kota….
Artikel ini ditulis oleh:
Eka