Indonesia pada tahun 1920 juga mulai memperingati hari Buruh tanggal 1 Mei, sebagaimana ditentukan berdasarkan hasil kongres pada Tahun 1886 oleh Federation of Organized Trades and Labor Unions. Tanggal 1 Mei dipilih karena pada 1884 Federation of Organized Trades and Labor Unions, yang terinspirasi oleh kesuksesan aksi buruh di Kanada 1872, menuntut delapan jam kerja di Amerika Serikat dan diberlakukan mulai 1 Mei 1886.
Ibarruri Aidit (putri sulung D.N. Aidit) sewaktu kecil bersama ibunya pernah menghadiri peringatan Hari Buruh Internasional di Uni Sovyet, sesudah dewasa menghadiri pula peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei 1970 di Lapangan Tian An Men RRC pada peringatan tersebut menurut dia hadir juga Mao Zedong, Pangeran Sihanouk dengan istrinya Ratu Monique, Perdana Menteri Kamboja Pennut, Lin Biao (orang kedua Partai Komunis Tiongkok) dan pemimpin Partai Komunis Birma Thaksin B Tan Tein.
Tapi sejak masa pemerintahan Orde Baru hari Buruh tidak lagi diperingati di Indonesia, dan sejak itu, 1 Mei bukan lagi merupakan hari libur untuk memperingati peranan buruh dalam masyarakat dan ekonomi. Ini disebabkan karena gerakan buruh dihubungkan dengan gerakan dan paham komunis pasca kejadian G30S pada 1965 ditabuhkan di Indonesia.
Sehingga semasa Soeharto berkuasa, aksi untuk peringatan May Day masuk kategori aktivitas subversif, karena May Day selalu dikonotasikan dengan ideologi komunis.
Peran Buruh Dalam Perpolitikan Indonesia
Kesadaran gerakan buruh yang kian terorganisir dalam pelbagai serikat pekerja tidak lagi hanya sekedar dalam memperjuangkan kepentingan hak-haknya selaku pekerja. Namun, metamorphosis terhadap gerakan yang kini diperhitungkan kekuatannya tidak terlepas dari kepentingan politik di dalam negeri.
Meski memiliki kesamaan dalam memperjuangkan haknya kepada penguasa, akan tetapi ketika berbicara pada tataran ideologi antara serikat pekerja satu dengan yang lain sangat sulit disatukan. Sebab, setiap serikat maupun konfederasi memiliki agendanya tersendiri. Hal itu terlihat, dalam menetukan sikap politiknya di Pemilu 2014 yang lalu, suara gerakan buruh di Indonesia terpecah. Dan kecenderungannya, suara buruh justru menjadi bargaining dalam menentukan sikap politiknya, yang membuat posisi buruh menjadi barang rebutan antar kandidat calon presiden (Capres) ketika itu.
Salah satu bargaining yang diharapkan dengan mendukung salah satu pasangan calon Capres ketika itu, tentunya Capres yang akan terpilih nanti akan menjadikan agenda-agenda kepentingan para pekerja dapat dimaksimalkan. Akan tetapi, justru pasca Pilpres 2014 banyak yang menilai jika peranan gerakan buruh di Pemilu 2014 hanya sekedar sebagai pelengkap kegembiraan saja.
Seperti yang dipaparkan Peneliti Bidang Ketenagakerjaan LIPI, Triyono menakar peran gerakan buruh pasca Pemilu 2014 yang akan membuat fragmentasi serikat atau konfederasi buruh kian melebar, apalagi organisasi telah memiliki sikap dalam 2014 kemarin. Sehingga, sambung dia, pasca Pemilu 2014 organisasi buruh akan semakin terkotak-kotak, yang berakibat antar buruh tidak sejalan, bahkan lupa dalam memperjuangkan hak-haknya.
Dan organisasi buruh pun akan semakin terkooptasi oleh partai politik. Padahal, seharusnya Pemilu 2014 harusnya menjadi pelajaran yang kemudian membuat organisasi buruh sebagai gerakan ekstraparlementer berubah membentuk satu gerakan politik dengan membentuk partai buruh untuk mengambil kesempatan menjadi kontestan pada Pemilu 2019.
Gagasan untuk membentuk partai politik yang memperjuangkan kepentingan pekerja dengan berkelimpung ke dalam parlemen atau kekuasaan. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sebelumnya pernah menggagas pendirian partai politik buruh. Ini dilakukan sebagai upaya mewujudkan negara sejahtera, khususnya bagi buruh, petani, nelayan, guru honorer, dan mahasiswa.
“Di negara demokrasi ini, harus ada sebuah kekuatan alternatif yang bisa menjadi pilihan dari berbagai ‘warna’ yang telah ada dan umumnya dikuasai para oligarki,” kata Presiden KSPI Said Iqbal dalam sebuah diskusi di kawasan Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Kamis (28/4/2016).
Bahkan, Said ketika itu mengaku optimistis dalam satu tahun akan mampu menyatukan dukungan dari berbagai elemen buruh di seluruh Indonesia. Untuk bisa mengikuti Pemilu yang mensyaratkan keanggotaan di 34 provinsi, KSPI telah memiliki anggota di 28 provinsi selain Bangka Belitung, Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, DIY, Bali, dan Nusa Tenggara Timur.
Konfederasi buruh itu juga telah memiliki basis anggota di 200 kabupaten/kota dan di sekitar 45 ribu kecamatan. Sedangkan untuk pendanaan, Said mengatakan akan menggunakan sistem iuran bulanan oleh para anggota.
Pengaruh Kekuatan Buruh di Pemilu 2019
Jelang pemilihan presiden pada 2019 nanti, sudah membuat bentangan pemisah antara konfederasi gerakan buruh yang satu dengan yang lainnya. Seperti misalnya, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) yang dipimpin Yorrys Raweyai langsung mengatakan bahwa buruh yang tergabung dalam konfederasinya mendukung pencalonan kembali Joko Widodo sebagai calon presiden.
Bahkan, ketua DPP Partai Golkar ini memastikan, KSPSI tingkat pusat sampai lapisan terbawah mendukung pencalonan Jokowi sebagai Presiden 2019. Dalam beberapa bulan ke depan, KSPSI bakal mendeklarasikan dukungannya kepada Jokowi secara terbuka kepada publik. “Kami akan bentuk struktur sampai tingkat basis dan kami giring ke Jakarta untuk deklarasi sama pak Jokowi,” ujarnya.
Sementara itu, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menjadikan hari buruh Internasional sebagai momentum untuk mendeklarasikan dukungan para buruh terhadap pencalonan Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto sebagai calon presiden di 2019 nanti. Deklarasi yang dilakukan Presiden KSPI Said Iqbal, tidak berubah dukungan yang diberikan pada 2014 lalu, saat Prabowo berpasangan dengan Hatta Rajasa.
Bahkan, di Pilpres 2019 nanti, Said akan mengupayakan lima hingga sepuluh juta suara kepada Prabowo Subianto. “Kami akan bekerja keras untuk Prabowo Subianto. Lima sampai sepuluh juta suara tenaga kerja buruh kami usahakan untuk memenangkan Prabowo Subianto,” kata Said Iqbal di kawasan Istora Senayan, Jakarta.
Dia mengklaim kelompoknya telah menghimpun anggota sebanyak 2,2 juta orang. “Kalau dengan keluarga hampir 5,7 juta orang.”
Said mengatakan personelnya siap untuk mengerahkan sumber dayanya, salah satunya melalui jaringan kelompok pengemudi ojek online dan taksi online yang berafiliasi dengan KSPI. “Go-jek, Grab-Car siap menangkan Prabowo? Mainkan Whatsapp nya!”
Dia pun mengatakan awak KSPI siap menggalang suara untuk Prabowo Subianto menggunakan serangan udara alias jaringan internet. “Siapin Whatsapp, Twitter, dan FB mulai serangan udara, presidennya siapa? Prabowo!” kata Said.
Dukungan kepada Prabowo Subianto itu diberikan setelah mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus itu sepakat menandatangani kontrak politik yang berisikan sepuluh tuntutan buruh dan rakyat alias Sepultura.
Tidak hanya itu, sejalan dengan KSPSI, Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) langsung membentuk organisasi relawan Jokowi (Rejo) sebagai bentuk dukungannya kepada incumbent.
Ketua KSBSI Mudhofir Khamid menjelaskan, keinginannya membetuk organisasi relawan tersebut guna memberikan mendukung terhadap pencalonan Presiden Joko Widodo untuk memenangi gelaran Pemilu presiden 2019 mendatang.
Ditambah Mudhofir, sejak tahun 2014 lalu dirinya yang mewakili elemen buruh sudah lebih dulu mendukung pencapresan Jokowi. Namun, setelah Jokowi menjadi Presiden ternyata tantangan malah semakin banyak.
“Bahwa saya sebagai aktifis buruh di 2014 Alhamdulillah Jokowi menang pada tahapan 2014, kita tidak meninggalkan buruh, begitu juga Jokowi. Setelah berjalan, tantangannya malah lebih banyak,” kata dia dalam keterangan tertulisnya.
Dalam kesempatan ini, Mudhofir yang menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Rejo pun membeberkan sejumlah tantangan yang berupa panahan-panahan fitnah terhadap Jokowi seperti Issue PKI, Islam Abangan dan antek aseng dan asing.
Diakuinya hal tersebut mengingatkannya pada nasihat Imam Syafi’i tentang ajaran memilih pemimpin yang banyak mendapatkan fitnah, karena sesungguhnya mereka mendekati kebenaran dan sedang berjuang.
Sementara itu, Pengamat Geopolitik dari Global Future Institute (GFI) Hendrajit menilai peran gerakan buruh dalam Pemilu 2019 mendatang menjadi sangat penting bagi kandidat pasangan calon presiden dan wakil presiden nantinya.
Menurut dia, sebagai gerakan yang terorganisir menjadi sangat strategis. Sebab, lanujut dia, buruh merupakan basis social masyarakat dari daerah perkotaan dan berorientasi industry, sehingga mapping secara geopolitik kedaerahan, maka mendominasi kawasan perkotaan.
“Dan itu yang terjadi kalau dari sisi Pilkada ataupun Pilpres menjadi penting di dalam bagian dari penguasaan suara-suara di daerah basis perkotaan, tapi bukan dalam kelas sosial menengah ke atas, namun bukan masuk dalam tataran kelas masyarakat miskin kota atau disebut urban poor. Karena kalau disebut urban poor itu masyarakat miskin tetapi secara kelas dia cair, kesadaran tentang siapa dirinya dan keadaan ekonominya tidak berdaya tidak ada, hanya yang dia tahu bahwa dirinya miskin saja,” ujar Hendrajit saat dihubungi aktual.com, Jumat (11/5).
“Sedangkan buruh, kesadaran kelas punya, walaupun tidak perlu menjadi marxisme kan, terkait antara dia dan majikan hubungannya seperti apa? Dia setuju tidak bila kemudian statusnya outsourcing, kalau pegawai tetap bila nanti ada pemutusan hubungan kerja tidak seenaknya, melainkan akan ada kompemsasi, dan itu mereka punya agenda secara kolektif sangat wajar ketika dia mengajukan kepada Capres yang dapat menjamin komitmen tersebut,” sebut dia.
Maka, sambung dia, ketika Capres berkomitmen dalam memperjuangkan nasib atau kepentingan buruh akan dengan mudah mendapatkan dukungan tersebut. Sedangkan, apakah kemudian signifikan atau tidaknya memberikan pengaruh pada Pemilu nanti? Itu nomor dua. Karena kaitan dukungan tidak hanya soal perburuhan saja, tetapi ada dalam konteks secara geografis pada perkotaan seperti apa? Dan tentunnya itu soal hitungan lain yang dipertimbangkan Capres untuk meraih perolehan suara.
“Dukungan akan signifikan ketika Capres berkomitmen atau menyetujui kontrak politiknya dengan gerakan buruh. Tetapi, kalau dari segi jumlah atau suara mungkin tidak. Akan tetapi, mendapat dukungan yang clear dari kekuatan itu, itu sudah memberikan satu kredibilitas buat Capres tersebut. Makanya dari yang saya lihat, dari banyak Capres yang ada, baru Prabowo Subianto yang sudah mendapatkan itu, dan itu sudah menang satu atau dua set dari Capres lain, dalam artian dia berani membuat kontrak politik dengan buruh,” ucap Hendrajit.
Skema Yang Tidak Berubah
Artikel ini ditulis oleh:
Novrizal Sikumbang