Benoa, Aktual.com – Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Didit Haryo, mengatakan salah satu pantai favorit di Bali dan Taman Nasional Bali Barat (TNBB) kini berada dalam ancaman pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara, karena emisinya akan mencemari kawasan itu.

“Bali adalah permata berharga bagi Indonesia, yang harus dihargai dan dilindungi, agar tidak dihancurkan oleh polusi. Begitu banyak mata pencaharian akan hilang ketika emisi dari PLTU ini tersebar di wilayah itu, sehingga rencana memperluas PLTU Celukan Bawang sangat merugikan masyarakat Bali,” ujarnya kepada pers di Benoa, Bali, Senin (16/4).

Menurut dia, bukan hanya pertanian lokal dan komunitas nelayan yang akan menderita jika perluasan ini terus berlanjut. PLTU Celukan Bawang hanya berjarak 20 km dari Pantai Lovina, kawasan wisata populer yang terkenal karena pantai pasir hitam, terumbu karang, dan lumba-lumba. Lumba-lumba khususnya akan terpengaruh oleh peningkatan lalu lintas kapal dan kebisingan dari mesin kapal.

Selain itu, PLTU juga menimbulkan risiko bagi Taman Nasional Bali Barat, rumah bagi satwa langka dan dilindungi, termasuk bagi macan tutul Jawa, trenggiling dan jalak Bali yang semuanya sangat terancam. Tidak dapat dipungkiri bahwa emisi dari PLTU akan mencemari daerah yang indah di Pulau Dewata.

“Selain mencemari dan merusak lingkungan, dampak PLTU itu juga menyebabkan banyak masalah kesehatan bagi masyarakat di seluruh kawasan PLTU yang ada di Indonesia,” ujarnya, setelah menyampaikan gugatan ke PTUN Denpasar.

Greenpeace Indonesia saat ini telah melaporkan kesaksian warga Desa Celukan Bawang tentang meningkatnya gangguan pernapasan pada keluarga mereka.

“Bukan hanya berdampak pada kesehatan mereka, para petani dan nelayan pun terpaksa kehilangan mata pencaharian karena hasil tangkapan dan panen berkurang,” ujarnya.

Meski demikian, saat ini ada rencana untuk memperluas pembangkit dan menambah kapasitasnya sebesar 2×330 MW yang berarti lebih besar dari dua kali lipat kapasitas pembangkit sebelumnya justru akan memperburuk polusi yang dihasilkannya.

Pengembangan PLTU Batubara Celukan Bawang ini melibatkan sekelompok perusahaan, diantaranya China Huadian Engineering Co, Ltd (CHEC), Merryline International Pte. Ltd (MIP) dan PT General Energy Indonesia (GEI), dengan perkiraan total investasi mencapai 700 juta dolar AS dan didukung oleh China Development Bank.

Di dalam negeri Cina telah menderita polusi udara yang mengerikan dari ketergantungannya pada batubara. Ketika China mengalami transisi energi dari batubara dan menunjukkan kepada dunia apa yang dapat diberikan energi terbarukan, perusahaan-perusahaan dan bank China juga harus bertujuan untuk mempercepat transisi energi ke luar negeri dengan berinvestasi lebih banyak ke energi terbarukan.

Tahun 2017, China memasang cukup kapasitas matahari untuk menghasilkan lebih dari seperempat dari permintaan energi tahunan Indonesia. “Ini perlu menjadi masa depan kita juga. Bali hanya akan bertahan hidup dan berkembang sebagai tujuan wisata jika memiliki energi yang bersih dan berkelanjutan, bukan emisi polusi dari pembangkit batubara seperti di Celukan Bawang,” ujarnya.

Oleh karena itu, perwakilan masyarakat Celukan Bawang bersama Greenpeace Indonesia yang didampingi Tim Kuasa Hukum dari YLBHI-LBH Bali telah mendaftarkan gugatan terhadap SK Gubernur Bali No.660.3/3985/IV-A/DISPMPT tentang izin lingkungan PLTU Batubara Celukan Bawang 2×330 MW, ke PTUN Denpasar.

“Alasan mendasar gugatan itu, yakni SK Gubernur Bali diterbitkan tanpa pelibatan masyarakat yang terdampak proyek itu, seta dianggap mencederai komitmen penurunan emisi dalam Kesepakatan Paris karena tidak mempertimbangkan dampak perubahan iklim yang akan terjadi akibat pembangunan PLTU Batubara itu,” ujar Dewa Putu Adnyana dari Lembaga Bantuan Hukum Bali.

 

Ant.

Artikel ini ditulis oleh: