Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan - Alih Kelola Blok Mahakam. (ilustrasi/aktual.com - foto/antara)
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan - Alih Kelola Blok Mahakam. (ilustrasi/aktual.com - foto/antara)

Jakarta, Aktual.com – Koalisi Masyarakat Sipil telah menghimpun kekuatan dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat, NGO, Mahasiswa, akademisi dan cendekiawan untuk menolak relaksasi mineral yang belum diolah dan dimurnikan di dalam negeri.

Juru Bicara Koalisi Masyarakat Sipil, Ahmad Redi, di Jakarta, Senin (16/1), mengatakan, pihaknya akan melakukan uji materil atas Peraturan Menteri (Permen) ESDM No.05 Tahun 2017 dan Permen ESDM No.6 Tahun 2017 ke Mahkamah Agung.

Gugatan itu dilandasi beberapa pertimbangan. Pertama bahwa izin ekspor mineral mentah bertentangan dengan konstitusi RI yang memandatkan pemanfaatan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.

Kedua, Permen tersebut diyakini bertentangan dengan UU Minerba (Pasal 102, Pasal 103, Pasal 170), Putusan MK Nomor 10/PUU-VII/2014, dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017.

Ketiga, izin ekspor dirasa akan memicu eksploitasi sumber daya mineral dan batubara secara besar-besaran dan tidak bertanggungjawab. Terbukti, sejak 2011 hingg 2016 terdapat penambahan izin usaha pertambangan dari 9.662 IUP hingga 10.066 IUP

Padahal, 3.682 IUP mineral berstatus non clear and clean dan hutan konservasi, 24 persen perusahaan selama 2010-2012 tidak memiliki nomor pokok wajib pajak. Dimana 75 persennya tidak membayar dana jaminan reklamasi dan pasca tambang, berikut perusahaan menunggak penerimaan negara sebesar Rp23 Triliun.

Pertimbangan keempat, kata Redi, pelonggaran ekspor mineral memicu eksploitasi sumber daya mineral yang berlebihan dan menyebabkan kerusakan lingkungan. Degradasi fungsi lingkungan tidak hanya diwariskan oleh kegiatan pertambangan yang tidak berizin, tapi juga berasal dari kegiatan pertambangan berizin, tapi beroperasi di luar kawasaanya.

Kelima, perubahan pengusahaan Kontrak Karya menjadi IUPK menyalahi ketentuan dalam UU Minerba yang mengatur bahwa untuk menjadi IUPK maka perlu ditempuh prosedur kewilayahan usaha yang ketat. Dimulai dengan adanya penetapan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang disetujui oleh DPR RI, kemudian penetapan menjadi WUPK yang diteruskan menjadi WIUPK.

Setelah itu, WIUPK ditawarkan kepada BUMN dan apabila BUMN tidak berminat maka WIUPK dilelang kepada swasta untuk selanjutnya diterbitkan IUPK.

“Pemegang KK seperti Freeport yang mengubah bentuk pengusahaan menjadi IUPK tentu akan mendapatkan manfaat tambahan jangka waktu operasi tambang minimal 10 tahun,” kata Redi.

Padahal, pemerintah harus mulai memikirkan untuk mengembalikan wilayah operasi tambang Freeport yang akan berakhir pada 2021 kepada negara untuk selanjutnya dikelola oleh segala potensi dalam negeri.

(Dadangsah Dapunta)

Artikel ini ditulis oleh: