Ketua Umum PSSI Erick Thohir. Antara

Jakarta, Aktual.com – Guru Besar Olahraga Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Prof Dimyati mendukung gebrakan ketua umum PSSI Erick Thohir dalam membenahi sepak bola nasional. Terutama langkah tegasnya memberantas mafia sepak bola dengan mendorong perbaikan kualitas dan kesejahteraan wasit di Indonesia.

Prof Dimyati setuju dengan langkah Erick Thohir mendahulukan perbaikan kualitas wasit sebelum lebih jauh menerapkan teknologi seperti Asisten Wasit Video (VAR). Sebab, yang paling utama adalah soal aspek psikologis bagi para pengadil lapangan agar memiliki integritas dan mental yang baik agar tidak terpengaruh oleh godaan atau suap.

“Jadi masalah besar adalah moralitas personal wasit yang tidak tahan atas intimidasi atau rayuan berupa suap,” ujar Dimyati dalam keterangannya, Rabu (22/2/2023).

Dimyati berpendapat, prioritas Erick Thohir terhadap perbaikan wasit tanah air sangat tepat, mengingat wasit menjadi instrumen para mafia sepak bola dalam melakukan kecurangan berupa pengaturan skor untuk menentukan pemenang.

“Ini menjadi masalah yang sulit dihadapi oleh wasit, sehingga jika tidak dibenahi kualitasnya tidak akan bisa independen untuk jadi pengadil di lapangan secara objektif,” terangnya

Untuk itu, Dewan Pakar Forum Akademisi Penggemar Sepak Bola Indonesia (FAPSI) itu mendorong adanya pelatihan secara psikologis terhadap para wasit untuk menanggulangi masalah kepemimpinannya di lapangan.

“Persoalan wasit tidak cukup hanya dilihat dari aspek kesejahteraan tapi perlu ada perubahan kultural, struktural dan pendekatan ilmiah (psikologis) dalam penanganan wasit untuk lebih tegas membersihkan oknum-oknum ‘mafia’ yang suka mempermainkan wasit,” tegasnya.

Prof Dimyati yang juga Wakil Ketua Ikatan Psikologi Olahraga Indonesia (IPO) itu mengatakan, perlu adannya program persiapan psikologis menuju wasit berkualitas yang dapat diharapkan akan mampu menghasilkan wasit berkualitas.

Ia mencontohkan wasit asal Italia Pierluigi Collina yang disegani dan menjadi panutan dalam sepak bola dunia.

“PSSI bisa menyelenggarakan berbagai kegiatan atau program pelatihan psikologis yang terstruktur dan kontinue untuk meningkatkan kualitas wasit dari aspek psikologisnya,” ucap Prof Dimyati.

Di sisi lain, Prof Dimyati menilai, hadirnya VAR ditunjukkan sebagai penunjang, bukan hal yang utama untuk memperoleh keadilan dalam pengambilan keputusasaan sebuah pertandingan. Pasalnya, kadang wasit kerap dianggap salah ambil keputusan tanpa adannya suatu yang objektif.

“Saya kira hal ini juga tidak bisa diabaikan dalam perbaikan untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan dalam memberi rasa adil. Sehingga penggunaan VAR itu juga harus merupakan bagian dari upaya peningkatan kualitas wasit jadi harus segera diterapkan seiring perbaikan atau peningkatan kualitas wasit,” ungkap Dimyati

“Terlebih PSSI terlebih akan jadi tuan rumah Kejuaraan Dunia U-20,” jelasnya

Sebelumnya, Erick Thohir punya janji khusus untuk wasit Indonesia setelah ia akhirnya terpilih menjadi Ketua Umum PSSi. Ia berjanji untuk membenahi kualitas dan sejahterakan wasit sebelum bicara soal teknologi seperti Asisten Wasit Video (VAR) di Indonesia.

“Kami akan mendorong perbaikan perwasitan, sistem pertandingan, baru hitung-hitungan VAR,” ujar Erick Thohir.

Nominal pemasukan wasit saat ini, lanjut Erick Thohir, masih sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dia mencontohkan seorang wasit Liga 2 Rohadi yang mendapatkan bayaran Rp5,5 juta per laga. Dengan pemasukan seperti itu, Erick melanjutkan, dia hanya lima sampai tujuh kali memimpin pertandingan setiap musimnya.

Padahal, idealnya, menurut Erick wasit harus bekerja 12-15 pertandingan per musim. Rohadi pun menyokong hidupnya dengan berjualan kembang tahu.

“Dari sana, dia meraih pendapatan Rp200 ribu per bulan sementara istrinya bekerja sebagai guru PAUD untuk tambahan dengan gajinya Rp900 ribu per tahun. Ayolah kita memberikan empati. Jangan selalu menyalahkan wasit, wasit, wasit,” kata Erick

Mantan Presiden klub Inter Milan itu meminta dengan tegas agar semua pihak tidak menjadikan wasit sebagai kambing hitam rusaknya persepakbolaan nasional.

Seluruh jajaran Komite Eksekutif (Exco) PSSI periode 2023-2027, Erick memastikan, akan berkomitmen untuk mengambil keputusan berdasarkan data dan fakta jika ada hal-hal negatif yang terjadi di sepak bola Indonesia. Mereka tidak akan menggunakan jalur kekuasaan untuk menentukan sebuah kebijakan.

“Saya mendorong empati. Kami harus mengambil keputusan dengan hati, bukan kekuasaan. Kami mesti mengambil keputusan berdasarkan data dan fakta, lalu menemukan solusi, bukan dengan menggunakan kekuasaan dan arogansi,” tegas Erick.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Tino Oktaviano