Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA Eni Widiyanti (kiri) dan Jaksa Utama Muda pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung Robert Parlindungan Sitinjak di sela-sela acara talkshow "Perlindungan Perempuan dari Segala Bentuk Kekerasan", di Jakarta, Jumat (1/12/2023).

Jakarta, Aktual.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengadvokasi peraturan nasional atau ratifikasi internasional untuk mengatasi perebutan hak asuh anak dan melindungi kepentingan mereka.

Hal itu diungkapkan Jaksa Utama Muda pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejagung Robert Parlindungan Sitinjak dalam temu wicara “Perlindungan Perempuan dari Segala Bentuk Kekerasan” di Jakarta, Jumat (1/12).

“Sampai sekarang Indonesia belum meratifikasi The Hague Convention on The Civil Aspects of International Child Abduction or Hague Abduction Convention,” tuturnya.

Robert menjelaskan bahwa The Hague Convention 1980, konvensi untuk menyelesaikan hak pengasuhan anak dari orang tua yang bercerai, belum diadopsi sepenuhnya di Indonesia. “Sehingga yang terjadi, kasus (terkait hak asuh anak) ini selalu dikriminalisasi,” ujar Robert.

Ia memberikan contoh kasus di mana hak asuh anak jatuh ke ibu, namun sang ayah mengambil anak tersebut dari ibunya. “Ketika ibu mau antar anak ke sekolah, tiba-tiba anak itu diambil bapaknya. Bahkan dibawa ke luar negeri, terus dilaporkan ke polisi dan Interpol. Itu tidak bisa, ini bukan pidana karena yang mengambil masih ayahnya,” jelasnya.

Kejagung mendorong dua opsi untuk menyelesaikan masalah ini, yaitu menerbitkan undang-undang nasional atau meratifikasi konvensi internasional The Hague Convention 1980.

“Ini kan persoalan yang lintas kementerian sehingga perlu duduk bersama,” kata Robert, menegaskan pentingnya kolaborasi antar-Kementerian/Lembaga untuk menangani kasus perebutan hak asuh anak yang semakin marak.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Jalil