Jakarta, Aktual.com – Lembaga pemeringkat Fitch Ratings menyoroti gelombang gagal bayar dari perusahaan-perusahaan Indonesia. Fitch menyebutkan risiko gagal bayar justru banyak terjadi di industri keuangan non-bank (IKNB).

“Kegagalan terkait tata kelola telah menghasilkan kerugian hingga US$ 3,5 miliar bagi investor sejak 2018,” tulis Fitch, dikutip Kamis (9/7/2020).

Fitch menuliskan serangkaian kasus gagal bayar baru-baru ini akibat kegagalan tata kelola perusahaan di industri keuangan di Indonesia.

 

Kegagalan akibat tata kelola perusahaan yang kurang baik ini menyebabkan kerugian hingga US$ 3,5 miliar atau setara Rp 49 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/US$) bagi investor sejak 2018.

Kondisi ini, diperparah dengan dampak pandemi Covid-19 yang mengguncang perekonomian nasional, sehingga meningkatkan risiko terjadinya gagal bayar.

Fitch mencatat, beberapa kasus gagal bayar datang dari industri keuangan non-bank karena menurut mereka industri ini tidak diatur secara ketat seperti sektor perbankan, meskipun ada beberapa penguatan regulasi dan pengawasan dalam beberapa tahun terakhir.

Beberapa kasus yang mencuat dan jadi sorotan publik antara lain, kasus dugaan korupsi perusahaan asuransi milik negara PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang gagal bayar pada Oktober 2018 dengan perkiraan simpanan sebesar US$ 1,2 miliar atau Rp 16,8 triliun.

“Kami melihat IKNB yang lebih kecil dan dimiliki swasta lebih rentan terhadap penyimpangan tata kelola daripada entitas yang lebih besar dan terdaftar yang biasanya akan menarik perhatian lebih besar,” tulis Fitch.

Ini terjadi tak lama setelah PT Sunprima Nusantara Pembiayaan, perusahaan pembiayaan yang dituduh melaporkan piutang fiktif dan gagal membayar utang dengan total sekitar US$ 300 juta atau Rp 4,2 triliun. Kasus gagal bayar juga menerpa Koperasi Simpan Pinjam Indosurya Cipta (Koperasi Indosurya) sebesar US$ 1 miliar atau Rp 14 triliun.

Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan, sampai dengan semester I-2020 pihaknya telah memberikan 39 sanksi peringatan dan 30 denda pada perusahaan asuransi dan dana pensiun (dapen).

“Sampai semester I-2020, OJK telah memberikan 39 sanksi dan 30 denda kepada perusahaan asuransi dan dana pensiun,” kata Deputi Komisioner Humas dan Logistik OJK Anto Prabowo melalui video conference, Rabu (8/7/2020).

Selain itu, OJK juga telah memberikan 278 sanksi administratif kepada perusahaan pembiayaan dan modal ventura. Terakhir, ada pencabutan izin usaha kepada perusahaan selama periode semester I.

 

Gagal Bayar Emiten Mulai Terjadi

Selain gagal bayar dalam bentuk investasi pada IKNB, gagal bayar utang juga mulai dialami perusahaan-perusahaan Indonesia. Emiten peritel ponsel dan voucher PT Tiphone Mobile Indonesia bk (TELE) bersama dengan empat anak usahanya resmi berada dalam keadaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara (PKPUS) setelah perusahaan mengalami gagal bayar atas utang baik utang obligasi maupun utang bank sindikasi.

Nilai total utang gagal bayar itu mencapai Rp 3,23 triliun untuk nilai pokok. Sementara itu nilai bunga untuk rupiah dari utang obligasi dan sindikasi mencapai Rp 72,16 miliar, ditambah dengan nilai bunga untuk mata uang dolar AS (US$ 1,68 juta) setara dengan Rp 23,56 miliar, maka nilai total bunga yakni Rp 95,72 miliar.

Dengan demikian, jika pokok ditambah nilai bunga maka total mencapai Rp 3,33 triliun. Perseroan telah menyampaikan keterbukaan informasi sehubungan dengan utang gagal bayar pada 22 Juni 2020. Adapun alasan keterlambatan dikarenakan pembuatan surat jawaban tersebut membutuhkan diskusi dari beberapa pihak manajemen terkait.

 

Selain Tiphone, PT Modernland Realty Tbk (MDLN) juga menyampaikan penundaan pembayaran obligasi dengan nilai pokok Rp 150 miliar yang seharusnya jatuh tempo pada hari ini, Selasa, 7 Juli 2020.

Mengacu pengumuman yang disampaikan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), perseroan akan melaksanakan Rapat Umum Pemegang Obligasi (RUPO) yang salah satu agendanya membahas tanggal pelunasan

Obligasi Berkelanjutan I Modernland Realty Tahap I Tahun 2015 seri B. Obligasi itu memiliki tenor lima tahun dengan tingkat kupon 12,5 persen per tahun.

Bahkan lembaga pemeringkat lainnya seperti Moody’s Investor Service memangkas rating atau peringkat emiten properti Modernland dari sebelumnya Caa1 menjadi Ca dengan prospek ke depan tetaplah negatif.

Vice President and Senior Credit Officer Moody’s, Jacinta Poh mengatakan, penurunan peringkat ini mengindikasikan adanya kemungkinan risiko gagal bayar Moderland dalam waktu dekat ini yang disebabkan oleh penurunan arus kas perusahaan dan terganggunya likuiditas karena pandemi Covid-19 yang menyebabkan terganggunya penjualan properti perseroan.

Kas dan setara kas perseroan mengalami penurunan menjadi Rp 180 miliar pada 31 Maret 2020 dari posisi akhir Desember 2019 sebesar Rp 554 miliar.

Tak hanya MDLN, terbaru, salah satu emiten properti dan perhotelan, PT Kota Satu Properti Tbk (SATU), baru saja menyelesaikan sidang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara (PKPUS) pada 3 Juli lalu.

Beruntung, SATU berhasil berdamai dengan 7 dari 8 krediturnya dan diberikan kelonggaran berupa penundaan kewajiban pembayaran selama 32 hari. (CNBC Indonesia)