Asumsi Makro Meleset
Pada aspek lain, Wakil Ketua Umum Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI), Barri Pratama mengatakan kenaikan harga BBM tidak terlepas dari melesetnya asumsi makro. Dimana dalam APBN 2018, pemerintah memproyeksi harga minyak hanya USD 48 per barel dan nilai tukar sebesar Rp 13,400. Nyatanya harga minyak tembus USD 75 Per barel, sedangkan nilai tukar rupiah terhadap dolar tergerus melebihi Rp14,000 per USD.
Barri menjelaskan, akibat nilai tukar rupiah terhadap dolar yang kian tergerus, Pertamina harus menombok untuk memperoleh minyak mentah. Belum lagi Pertamina harus mengeluarkan biaya menjalankan BBM Jenis Khusus Penugasan yang tak mendapat koreksi harga dari pemerintah. Karenanya kenaikan BBM Jenis Umum tak bisa dihindari agar Pertamina tetap dapat beroperasi.
“Persoalan ini muncul juga karena melesetnya asumsi makro Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Akibatnya merancang program juga menjadi tidak rasional. Kalau rancangannya rasional, maka target laba Pertamina berapa dan berapa kemampuan PSO, ini berpengaruh pada kesehatan korporasi,” kata Barri.
Yang pasti Barri meyakini adanya kenaikan harga BBM dapat memicu inflasi dan memberi tekanan terhadap kemampuan daya beli masyarakat. Sementara stimulus dari pemerintah tidak begitu memadai.
“Kenaikan harga BBM berkontribusi sebagai penyebab memburuknya ekonomi. Lalu stimulusnya apa? Kalau mengandalkan upah buruh dan nilai tukar petani, dua-duanya nggak punya stimulus kuat di bulan Juli ini. Kalau ekonomi memburuk, target pajak juga akan terkoreksi,” pungkas dia.
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta