Jakarta, Aktual.com – Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla dianggap gagal memberikan solusi pangan baik dari sisi produksi maupun harga. Hal ini bisa dilihat dari harga maupun komoditas pangan yang tak kunjung stabil. 
“Kalaupun beberapa harga komoditas stabil hal tersebut lebih dikarenakan intervensi pemerintah melalui operasi pasar,” kata Anggota Dewan Pertimbangan Almisbat Syaiful Bahari, di Jakarta, Rabu (3/6). 
Faktanya, jelas Syaiful, operasi pasar hanya bersifat sementara dalam mengatasi gejolak harga. Setelahnya, harga kembali naik. “Begitu terus dari tahun ke tahun,” jelasnya. 
Selama ini, Kementerian Pertanian dan Perdagangan kerap melakukan operasi pasar untuk menciptakan stabilitas harga. Seolah turunnya harga dikarenakan produksi pangan yang meningkat. 
“Padahal semakin sering operasi pasar dilakukan justru menunjukkan kegagalan pemerintahan dalam mengelola tata kelola pangan nasional dari hulu sampai hilir,” tambahnya. 
Menurutnya, regulasi yang dikeluarkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) atau Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) untuk mengendalikan pasar berlebihan. 
Kebijakan ini tak hanya mmemberikan kepastian produksi justru menciptakan anomali pasar yang mempengaruhi naik turunnya harga pangan. 
Misalnya, saat gejolak produksi atau harga terjadi, Kementan kerap mencari kambing hitamnya. Contonya, kasus bawang putih yang penyebabnya karena penundaan RIPH. Hal ini memicu kenaikan harga sampai Rp. 80.000 sampai Rp. 100 ribu per kg. 
 “Atau data jumlah ayam hidup yang tidak sinkron dengan kenyataan di lapangan sehingga berakibat kelebihan pasokan (over supply) dan harga anjlok di bawah HPP,” katanya. 
Syaiful menuturkan, untuk menutupi kesalahannya, Kementan kerap menuding mafia, broker atau pedagang nakal menjadi dalangnya. Kemudian, Kementan kerap meminta satgas pangan untuk memerika ke gudang dan kios di pasar. 
“Penggunaan cara-cara represif dalam membangun tata kelola pangan nasional seperti yang ditunjukkan selama ini bukannya memberikan dampak positif bagi kinerja pasar tetapi justru menciptakan distorsi harga baik di sisi produksi maupun konsumsi,” ungkapnya. 
Belum lagi, sebagian besar regulasi di sektor pertanian seolah menghambat pelaku usaha. Misalnya, kewajiban importir untuk penanaman bawang putih. Lalu, kewajiban impor sapi lima banding satu untuk indukan. 
“Ini merupakan kebijakan yang mencampuradukan antara swasembada, produksi, harga, dan konsumsi. Akibatnya, kebijakan tersebut justru menciptakan kartel, rente ekonomi dan kroni di lingkungan kementerian,” ujarnya. 
Masalah lainnya, Kementan terus mendorong peningkaan produksi. Lalu, memnjanjikan para petani harga pokok produksi (HPP) yang bagus. Tujuannya, agar produk pertanian lokal bisa bersaing dengan negara tetangga seperti Thailand, Vietnam, Myanmar dan Kamboja. 
“Produksi meningkat tetapi HPP tinggi itulah salah satu sumber kenapa kita tidak bisa ekspor hasil pertanian lokal ke luar. Kalaupun ada ekspor sebagian besar sifatnya tidak kontinu dan lebih banyak pencitraannya,” tambahnya. 

Artikel ini ditulis oleh: